Saturday, February 18, 2017

Ketika agama disamakan dengan Tuhan, apa yang akan terjadi?

Kita semua tahu, dalam pandangan para radikalis semua agama, agama mereka sangat agung, bahkan mereka menyamakan agama mereka dengan Tuhan sendiri. Apa yang akan timbul, jika suatu agama dipertuhan, di-ilahi-sasi, di-deifikasi? Mari kita cari jawabannya.

Tuhan itu dipercaya mahasempurna, mahatakterbatas, mahatahu, mahamencipta, mahasegalanya. Dus, jika Tuhan begitu, ya Tuhan tidak bisa dikritik. Sekalipun dikritik, ya tidak pernah Tuhan, setahu saya, menjawab kritikan itu. Tuhan juga, setahu saya lagi, tidak pernah dengan tangan dan akalnya sendiri menulis sebuah makalah (seperempat halaman sekalipun) untuk menanggapi dengan cerdas kritik kepadanya. Tuhan hanya diam saja. Entah kenapa. Mungkin anda tahu jawabannya.

Nah, kalau agama sudah disamakan dengan Tuhan, itulah juga yang akan terjadi: pemeluknya, khususnya para pemuka mereka yang menjalankan agama yang sempurna, jadi kebal kritik bahkan antikritik, dan lebih jauh lagi benci kritik. Sebab bagi mereka, dalam agama mereka yang sudah disetarakan dengan Tuhan, tidak ada kesalahan dan kekurangan apapun, sudah sempurna. Absolut sempurna. Bagi mereka, dari ujung dunia yang satu ke ujung yang lainnya (jika dunia memang datar, ada ujungnya), hanya orang yang sempurna yang dapat sungguh-sungguh menjadi para penganut dan penjaga agama-agama yang sempurna. Ada yang bilang, itulah delusi; tapi ada juga yang yakin, itulah hidup beriman yang paling tangguh.

Akibatnya, sosok-sosok yang berbicara mewakili agama-agama yang sudah dipertuhan, khususnya, dipercaya oleh umat masing-masing sebagai sosok-sosok ilahi. Atau sosok tigaperempat dewa dan seperempat manusia. Dus, mereka juga tidak mungkin salah dalam ucapan, kehendak, pikiran dan perbuatan. Jadi, jika sebuah agama dipertuhan, konsekwensi umumnya adalah: pemimpin tertinggi agama ini juga dipertuhan. Lebih jauh lagi, membela sosok-sosok pemimpin radikalis yang diilahikan dan membela agama-agama kalangan radikal disamakan dengan membela Tuhan.


Dua telunjuk ini tidak pernah sama!

Ketika hal itu terjadi, iman kepada Tuhan pun tidak diperlukan lagi, lenyap, sebab yang diimani bukan lagi Tuhan yang tidak kelihatan, tetapi sosok ragawi diri mereka sendiri yang sudah disetarakan dengan Tuhan. Kita tidak perlu beriman kepada hal yang kelihatan. Iman kepada Tuhan diperlukan karena Tuhan tidak kelihatan.

Jadi, para radikalis yang mengklaim diri paling beriman di seluruh jagat raya, justru adalah orang-orang yang paling tidak beriman. Para radikalis itulah infidels seasli-aslinya.

Mereka juga tidak bisa lagi melihat bahwa telunjuk Tuhan bukanlah telunjuk mereka, dan juga sebaliknya. Dua telunjuk ini tidak akan pernah sama. Yang satu insani, frail; yang lainnya ilahi, great. Runyamnya, dengan telunjuk insani mereka sendiri yang mereka yakini sama dengan telunjuk Tuhan sendiri, mereka menuding, menggempur, mencaci dan menghakimi semua orang lain di luar diri mereka. Bersikap waspada terhadap telunjuk semacam ini, tidak diperlukan mereka dan umat mereka.

Nah, ketika tahap ilahisasi atau deifikasi agama sudah masuk ke sikon seperti itu, apapun yang umat dan para pemimpin mereka katakan dan lakukan atas nama agama mereka, ya mereka yakini tidak mungkin salah, tidak mungkin tidak cocok, tidak mungkin keliru, tidak mungkin meleset. Pasti betul. Mutlak betul. Tidak mungkin ada lubang-lubang cacat dan kontaminasi. Tidak boleh ditampik. Tidak boleh dilawan.

Nah ketika sikon itu muncul, proses degeneratif terjadi: agama mulai masuk ke tahap proses penuaan, pengeroposan, pembusukan, lalu ya akhirnya akan mati.

Para radikalis agama apapun tidak bisa dan tidak mampu berpikir seperti itu. Tapi fakta menunjukkan hal itu yang sedang terjadi:

• Para radikalis dalam semua agama bertempur berat dan sengit satu sama lain untuk memperebutkan supremasi tunggal di muka Bumi, dengan hasil peradaban mereka sendiri luluh-lantak, menjadi puing, oleh mereka sendiri. Darah mengalir. Tulang dan daging berserakan. Ratapan terdengar di mana-mana. Anak-anak telanjang dan ceking, berwajah cekung. Kelaparan. Azab menjadi Tuhan pengganti.

• Mereka memusuhi iptek modern yang terus berkembang pesat ke depan, makin hebat dan menakjubkan justru karena dikritik, dievaluasi lalu dikoreksi, dan kini sedang meresapi dan mengendalikan semua bidang kehidupan, dari yang lokal personal hingga yang global sosial.

Iptek modern mereka benci dan musuhi, dan, lewat para apologet kalangan radikal, mereka serang habis-habisan (dan, tentu saja, dengan naif) karena, menurut mereka, iptek modern bertentangan dan melawan pesan-pesan teks-teks kitab-kitab suci mereka yang sudah mendalilkan ihwal asal-usul dari segala yang ada, dan sudah menggariskan ihwal bagaimana dan kemana dunia, kehidupan dan semua fenomena alam akan bergerak dan harus dipahami.

Padahal, sesuai dengan sifat kemahatahuan Tuhan, ilmu pengetahuan, dan aplikasi teknisnya dalam wujud anekaragam teknologi, adalah juga jalan mulia menuju Tuhan YMTahu. Tuhan Yang Mahatahu tidak mungkin takut terhadap iptek; dus, mustahil juga Tuhan YMTahu memerangi dan ingin melenyapkan iptek modern yang terus berkembang tanpa batas, memasuki dunia kemahatahuan Tuhan tahap demi tahap, tanpa titik ujung, tanpa batas akhir.

Mereka pasti bertanya: Apakah betul, ilmu pengetahuan dikehendaki Allah ada dalam dunia dan dipakainya? Jawab saya: Sudah pasti karena minimal dua alasan.

Pertama, Tuhan memberi manusia akal budi yang membuat manusia jadi cerdas. Dengan kecerdasan pemberian Tuhan ini, manusia membangun metode-metode riset dalam usaha memahami dan mendeskripsikan segala fenomena alam dan membuat prediksi-prediksi ke depan dalam koridor pengetahuan yang sudah ada. Alhasil, ilmu pengetahuan lahir dan terus berkembang dan makin maju.

Kedua, jelas kita lihat dan jujur kita akui bahwa ilmu pengetahuan dan aplikasinya yang berupa teknologi sudah dan sedang banyak membantu manusia untuk hidup lebih maju, lebih sehat, lebih bahagia, lebih tegar, dan berhasil mengalahkan berbagai penyakit.

Iptek membuat hidup kita lebih mudah, membantu kita untuk mengatasi banyak penderitaan, melawan dan mengatasi berbagai bencana alam, menyelidiki hal-hal yang semula kita tidak pahami sehingga membuat kita paham alhasil pengetahuan kita bertambah, mencari dan mengolah sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. 

Dan, ini sangat penting, ilmu pengetahuan juga menawarkan nilai-nilai kehidupan yang agung, misalnya, makin kuat menumbuhkan rasa ingin tahu, mendorong orang untuk berprestasi, untuk menyelidiki segala fenomena untuk menemukan jawaban-jawaban, untuk memelihara dan mempertahankan kehidupan, dan untuk selalu bersikap jujur, ksatria, objektif dan terbuka pada fakta.

Pendek kata, jika kebahagiaan, kesejahteraan, kehidupan yang sehat, bermakna dan baik, lingkungan kehidupan yang bersih, daya tahan untuk hidup, mencintai kehidupan, dan berjiwa ksatria, adalah tujuan adanya agama-agama untuk umat manusia, maka sekarang ini tujuan-tujuan itu, bahkan tujuan-tujuan lain yang lebih jauh, sudah dicapai lewat iptek.

Nah, jika demikian halnya, mengapa orang yang beragama harus menolak iptek? Mustinya, semakin dalam seseorang menghayati agamanya, semakin cinta dia pada ilmu pengetahuan. Bukankah penolakan terhadap iptek oleh orang yang beragama, dengan demikian, harus dilihat sebagai suatu perlawanan kepada Tuhan YMTahu?

• Karena menolak iptek, akibatnya adalah para radikalis semua agama makin lama makin tersingkir, lalu mendiami emper-emper bangunan peradaban modern, kekurangan makan dan minum, tidak bisa tidur lelap, kedinginan, dan rentan berbagai penyakit. Atau hidup di bantaran-bantaran sungai-sungai iptek modern yang airnya tinggi dan deras mengalir, menerjang segala penghambat. Lalu mereka hanyut dilahap terjangan air, dan jasad mereka tidak berhasil ditemukan.

• Mereka akhirnya nekad melawan modernitas yang dibangun di atas iptek modern, bahkan mereka memerangi dengan kekerasan peradaban dan kehidupan modern yang sudah sangat tangguh dan siap menghadapi gempuran nekad mereka. Mereka tidak bisa menerima penemuan teologis bahwa iptek modern adalah bagian dari dunia kemahatahuan Tuhan yang sudah dan sedang ditemukan dan disibak sedikit demi sedikit oleh para ilmuwan.

Dus, para ilmuwan, entah beragama atau tidak beragama, juga adalah para pelayan Tuhan YMTahu. Pengetahuan ini menakjubkan; tapi bagi para radikalis religius dalam semua agama, tentu saja itu pengetahuan yang sangat menakutkan.

• Muaranya: para radikalis makin dibenci dan dimusuhi oleh dunia yang beradab dan menolak kekerasan, lalu mereka kalah perang, atau tragisnya akhirnya membunuh diri sendiri karena mereka melihat kehidupan sekarang di muka Bumi tidak memihak mereka lagi, atau dipersepsi mereka sebagai dunia yang sedang dikuasai setan-setan, musuh Tuhan mereka.

Jika tidak ada jalan lain dalam perjuangan mereka selain kematian, maka kematian dalam membela agama, dan dalam membela sosok-sosok pemimpin mereka yang diilahikan, disamakan begitu saja dengan kematian demi Tuhan.

Tragisnya dan betapa memalukannya adalah fakta berikut ini. Pada satu sisi, mereka menolak sainstek modern yang dipandang mereka sebagai produk setan-setan besar Barat, dajjal-dajjal, dan juga menampik keras modernitas lalu memilih pandangan dunia atau worldview dan cara hidup yang berlaku di zaman-zaman yang sudah sangat lampau.

Tapi, pada sisi lain, dalam melawan peradaban maju yang dibangun di atas sainstek modern, mereka memakai semua produk peradaban modern. Mulai dari persenjataan berat perang modern, teknologi komunikasi dan informasi modern, transportasi modern, hingga ke minuman kemasan dan makanan cepat saji produk modern.

Menolak modernitas, tapi juga menghamba pada modernitas. Jiwa yang semacam apakah yang membuat mereka dapat hidup anteng di dalam dua dunia sekaligus, yang berbenturan satu sama lain, dunia oxymoronik? Ya, jiwa yang porak-poranda!

Jadi jelas, jika agama apapun sudah disetarakan dengan Tuhan, hasilnya bukan keagungan, perdamaian, dan keabadian, tapi kemerosotan, kekerdilan, kemunafikan, permusuhan, perang, lalu menyusul kepunahan. Ya punah bertahap, lewat proses degenerasi, proses penuaan gradual yang makin membuat tubuh renta, ringkih, keropos, tidak berdaya, akhirnya mati. Pendek kata: petaka datang!

Tuhan sudah ingatkan: Jangan ada allah lain di hadapan Allah YMTahu. Jangan menyamakan makhluk apapun, baik yang berwujud ragawi maupun yang berupa ide atau ideologi, dengan Tuhan YMTahu dan YMKuasa!

Tuhan sudah tahu apa akibatnya pada suatu agama jika agama ini dipertuhan. Kenapa peringatan Tuhan YME ini suka sekali diabaikan dan disingkirkan justru oleh orang-orang yang mengklaim diri paling dekat dengan Tuhan?

Orang yang di dalamnya Tuhan berdiam sunyi dan tenang, malah menemukan dirinya jauh dari Tuhan. Dekat yang jauh, dan jauh yang dekat.

Orang yang berkoar-koar garang bahwa mereka tahu segala hal tentang Tuhan, justru tidak mengenal Tuhan.

Orang yang terdiam luluh di bawah kaki Tuhan, justru memandang wajah Tuhan dan mengenalnya.

Selanjutnya, mari kita dengarkan the silence of sound supaya ketidaktahuan kita berakhir.


Jakarta, 18 Februari 2017

Salam, 
ioanes rakhmat

Monday, February 13, 2017

Bakteri “Superbug” MRSA akan diluncurkan ke angkasa luar, besok, 14 Feb 2017!



Bakteri akan diluncurkan ke angkasa luar?
WADUUH! 

Apa tidak akan mengontaminasi angkasa luar nantinya? Apa bakteri Superbug itu tidak akan bermutasi jadi Super-super-superbug yang jauh lebih berbahaya?

Bakteri MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus) yang sangat resisten terhadap banyak antibiotika (karena itu dinamakan “Superbug”) akan diluncurkan ke angkasa luar, persisnya akan dibawa ke International Space Station (ISS), lalu ditempatkan dalam ruang mikrogravitasi, besok 14 Feb 2017. Mikrogravitasi artinya gravitasi yang “sangat kecil”; ini beda dari gravitasi nol atau zero-G yang artinya keadaan “tanpa bobot”.


Bakteri Superbug itu akan diluncurkan oleh SpaceX Elon Musk. Rencana ini telah menimbulkan banyak reaksi, dari rasa khawatir dan ketidaktahuan hingga dukungan yang kuat.

Apa tujuan menempatkan bakteri Superbug MRSA dalam lingkungan mikrogravitasi di ISS?

Dengan berada di ruang mikrogravitasi yang tidak terdapat secara alamiah di Bumi (atau, kalaupun diciptakan, tidak akan berlangsung dalam waktu panjang), berbagai PERUBAHAN dan MUTASI pada bakteri MRSA akan berlangsung dengan LEBIH CEPAT atau TERAKSELERASI dalam siklus kehidupan Superbug ini.

Berbagai perubahan dan mutasi bakteri yang terakselerasi ini akan dengan seksama dipantau, dikaji dan dipahami oleh para saintis.

Pengetahuan dari kegiatan lab keilmuan di angkasa luar ini tentang perubahan dan mutasi yang dipercepat pada bakteri MRSA sangat penting dalam usaha MEMAHAMI BAGAIMANA bakteri MRSA (dan di masa depan, infeksi-infeksi lain) bergerak menjalar ke seluruh tubuh dan bermutasi di sepanjang kehidupannya.

Jadi, sederhananya, info biologis tentang MRSA akan mau bergerak ke mana, mau lari ke mana, mau berubah jadi apa, bagaimana proses mutasinya dan berapa lama waktu yang dibutuhkan (di angkasa luar, dan juga di Bumi lewat perhitungan), akan sudah ada dalam genggaman para saintis. Kartu As sudah di tangan.

Jika siklus kehidupan, perubahan dan mutasi bakteri MRSA yang berlangsung lebih cepat sudah diketahui dan dipahami dalam suatu lingkungan mikrogravitasi jangka panjang ― sesuatu yang tidak bisa dicapai di Bumi ― maka ilmu pengobatan akan maju lebih dipercepat: bakteri yang paling resisten terhadap antibiotika, MRSA dll, akan TIDAK LAGI menjadi suatu ancaman yang mematikan bagi manusia.

Bakteri MRSA yang tergolong sebagai bakteri yang telah membunuh banyak manusia tidak akan berkutik lagi nantinya. MRSA menyerang kulit (membuat bengkak dan menimbulkan benjol-benjol merah), lalu menyerang lebih jauh ke dalam tubuh: paru-paru, tulang, sendi-sendi bahkan darah juga. Orang Amerika mati lebih banyak karena infeksi MRSA ketimbang karena infeksi HIV/AIDS, Parkinson, emfisema (pembengkakan paru-paru karena pembuluhnya kemasukan udara sehingga si penderita sulit bernafas), dan karena kekerasan.

Sungguh, ini suatu langkah besar dalam usaha para saintis untuk di masa depan yang dekat dapat melawan berbagai jenis bakteri yang paling resisten terhadap antibiotika.

Itulah ilmu pengetahuan: membawa karunia kehidupan insani yang lebih berdaya tahan.

Silakan share.

Read more https://futurism.com/elon-musks-spacex-is-launching-a-superbug-into-space.

Salam,

ioanes rakhmat
13 Feb 2017



Wednesday, February 8, 2017

Wahai Puteraku, Hidup Ini Memang duka. Jadi, Bernyanyilah!


Puteraku,
Menangislah jika ingin
Tertawalah jika mau
Supaya lengkap hidupmu
Saat jadi mayat apapun tak ingin
Hanya kesunyian yang tertinggal
Tapi tetap aku mau dengar
Kesunyianmu yang paling sunyi


Wahai puteraku

Jangan sedih. Kau segera tahu bagaimana caranya untuk tidak sedih walaupun sekarang ada cukup alasan bagimu untuk sedih.

Hidup ini memang “dukkha”, derita. Dari kecil papa sampai sekarang merasakan hidup ini memang dukkha. Kata dukkha (Indonesia: duka), dari bahasa Pali, artinya rasa pedih yang amat sangat, yang muncul ketika ujung patahan-patahan tulang dalam tubuh kita mencocok daging dan saraf di sekitarnya. Papa sekarang mau bercerita pendek dulu kepadamu.


Ketika masih sebagai seorang pangeran muda, Siddhartha Gautama (563-483 SM) dengan dikawal, keluar meninggalkan istana kerajaan. Di luar istana, di dunia real, dia melihat beberapa hal yang membuat dia menyimpulkan bahwa hidup ini memang dukkha, penderitaan, azab, suffering, pain, Elend, Pein, ellende, pijn.

Pertama, Gautama melihat seorang yang yang berpakaian compang-camping, tangan kanannya memegang sebuah belahan batok kelapa, meminta-minta pada setiap orang yang berpapasan dengannya. Tubuh orang itu bau, ceking tanda kurang makan, dan kulitnya kusam tak terawat. Gautama tidak mengerti, apa yang sedang dilakukan orang itu dan kenapa orang itu kelihatan kusut dan tak terurus. Dia minta penjelasan dari seorang pengawalnya tentang apa yang sedang dilihatnya.

Pengawalnya memberitahu sang pangeran bahwa orang itu seorang pengemis, tidak punya pekerjaan yang layak sebagai sumber nafkah, tidak punya uang, tidak punya makanan, hidup terlunta-lunta setiap hari, hari ini bisa dapat sesuap nasi, besok belum tentu. Hidupnya bak seekor anjing geladak, kudisan, bau, kotor, mengais-ngais di tempat-tempat sampah mencari sisa-sisa makanan.

Tersentak Siddhartha mendengar penjelasan pengawalnya itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa itu mengemis, mengapa ada manusia sampai harus mengemis, kok bisa ada orang yang tidak punya makanan, dan hidup tidak terjamin. Mengapa? Mengapa? Dia yakin, si pengemis itu tentu sengsara, tidak berbahagia dan tidak terjamin hidupnya. Lalu Siddhartha mulai merenungi dirinya sendiri. Dia mulai merasa ada yang tidak beres dalam dunia ini. Tapi apa?

Ketika Siddhartha melanjutkan perjalanannya, dia melihat di pinggir jalan ada orang yang merintih, terkapar, kesakitan. Gautama untuk kedua kalinya tidak paham sama sekali. Sebelumnya dia tidak pernah melihat orang sakit dalam istana ayahnya. Dia tanya lagi pengawalnya, apa yang sedang terjadi pada orang yang terkapar itu. Sang pengawal menjawab, orang itu sedang sakit. Gautama kaget, baru dia tahu kalau manusia bisa sakit. Dia terus merenungi fakta ini.

Kemudian, ketiga, dalam perjalanan lebih lanjut, dia menemukan seorang yang ringkih, ceking, lansia, tertatih dan terbungkuk-bungkuk berjalan dengan sebuah tongkat, wajah cekung hanya berbalut kulit. Gautama heran, kenapa orang itu. Dia tanya lagi ke pengawal yang sama, apa yang sedang menimpa orang itu. Pengawalnya bilang, itu orang tua, sudah jompo, dan semua orang akhirnya akan jadi tua dan menderita. Gautama kaget lagi karena dia baru tahu orang harus akhirnya tua renta. Dia merenung dalam-dalam lagi.

Selanjutnya, keempat, Gautama dalam perjalanannya melihat iring-iringan orang ramai yang semuanya meratap sementara di tengah mereka ada sebuah keranda berisi mayat yang sedang diusung. Gautama tidak paham, apa yang sedang terjadi. Terlalu lama dia hidup dipingit dalam istana ayahnya, dijauhkan dari segala kesusahan, azab dan realitas dunia.

Pengawalnya kembali menjelaskan, orang-orang itu meratap karena telah ditinggalkan seorang kekasih mereka yang telah mati dan mayatnya ada dalam keranda itu.

Mati? Mati? Gautama kaget luar biasa. Apa itu mati? Kini dia baru tahu lagi kalau orang akhirnya harus mati, menjadi mayat, tidak bergerak lagi, tidak bernafas lagi, tidak hidup lagi. Gautama sangat terpukul. Sedih bukan kepalang. Pilu hatinya. Ada rasa takut muncul di hatinya. Dia kembali merenung dalam-dalam. Apa arti semua kejadian yang telah dilihatnya itu? Apa penyebab semua itu? Bisakah diatasi?

Empat pengalaman itu membuat Gautama resah dan gelisah di hari-hari selanjutnya. Dia mulai merasa bahwa kehidupan yang selama ini dijalaninya dalam istana bukanlah kehidupan yang real. Ada sesuatu yang sangat mengerikan di luar istana.

Di hari-hari berikutnya, Gautama mulai menyimpulkan, hidup ini yang harus dijalani dengan kesusahan dan kemiskinan, dengan tertimpa sakit-penyakit, dengan mengalami usia tua, dan akhirnya mati, adalah dukkha, penderitaan, yang nyata senyata-nyatanya.

Akhirnya Gautama memutuskan tidak mau mewarisi takhta kerajaan ayahnya. Dia bertekad bulat untuk mencari dan menemukan jalan bagaimana orang bisa lepas dari dukkha. Lalu, di usia 29 tahun, dia menjalani kehidupan beberapa aliran asketisisme, hidup menjauh dari dunia, bertapa di hutan-hutan, sempat sekian lama menyiksa diri, juga pindah-pindah dari satu aliran ke aliran lain, dari satu guru ke guru lain.

Akhirnya, bertahun-tahun kemudian setelah berguru dan kemudian membuka jalan asketis sendiri, Gautama di umur 35 tahun menemukan jalan-jalan untuk manusia bisa lepas dari dukkha. Jalan Tengah, the Middle Way, adalah metode Gautama. Tidak ekstrim menyiksa diri atau menolak dunia real. Tapi juga tak ekstrim hidup bersenang-senang saja, takluk pada dunia.

Baginya, ada Jalan Tengah. Ibaratnya, Gautama tidak mau menyetel senar kecapi terlalu kencang sehingga putus, dan juga tidak ingin terlalu kendur sehingga bersuara sember. Harus disetel pas, di tengah-tengah: tidak kekencangan dan juga tidak kendur. Fine tuning.

Menurut legenda, Gautama menemukan Jalan Tengah dan akar penyebab dukkha setelah dia bermeditasi selama 49 hari di bawah sebuah pohon besar dan rimbun di suatu tempat di kawasan Buddhagaya. Inilah pencerahan atau penerangan budi yang paripurna. Karena itulah pohon besar itu diberi nama Pohon Bodhi, artinya Pohon Pencerahan.

Sehabis menemukan jawaban yang menurutnya adalah jalan melepaskan diri dari dukkha, Siddhartha bangkit dan berdiri di depan pohon itu, menatapnya tanpa berkedip dan tanpa bergerak selama 7 hari 7 malam sebagai tanda terima kasih yang besar kepada sang pohon. Siddhartha pun mengalami transformasi dari status sang pencari, masuk ke status Sang Tercerahkan, Sang Buddha.

Satu prinsip paling mendasar dalam agama Buddha dalam mengalahkan penderitaan adalah BERSIKAP BENAR terhadap dunia dan terhadap penderitaan.

Wahai puteraku. Apapun yang ada dalam dunia ini boleh kau miliki dengan cara yang benar, asalkan jangan yang kau miliki itu mengikat dirimu atau kamu mengikatkan dirimu kepada milikmu itu. Kamu tidak boleh dihanyutkan arus dari hulu dan juga arus dari hilir. Kamu harus berada di tengahnya, di pusaran air tanpa tersedot masuk dan tenggelam. Kamu harus jadi sang tuan, sang master, atas semua harta benda yang kau peroleh dengan cara yang benar. Tak boleh kebalikannya.

Kalaupun engkau tidak punya uang, hidup miskin, jangan juga kemiskinan dan kesusahanmu menjadi tuan atas dirimu, mengendalikanmu, akhirnya membinasakanmu.

Baik saat kamu punya banyak harta, maupun saat kamu melarat, satu hal harus kamu pegang: jangan sekali-kali kekayaanmu, atau kemiskinanmu, mengendalikan dirimu, menyetir dirimu, merebut dirimu, yang akan menimbulkan masalah-masalah berantai yang akan membuat dirimu jatuh ke dalam penderitaan.

Penderitaan memang tidak bisa ditiadakan sampai ke akar-akarnya. Satu dukkha lenyap, dukkha yang lain akan pasti mendatangi. Penderitaan boleh tetap ada, tapi jangan biarkan penderitaan mengendalikanmu atau menghancurkanmu. Kamulah yang harus mengendalikan dan mengelola penderitaan lewat SIKAP YANG BENAR terhadap penderitaan.

Ringkas kata, apapun yang ada dalam dunia ini yang kamu miliki, atau yang tidak kamu miliki dan karenanya kamu dambakan, dan apapun yang kamu alami dalam dunia ini, suka atau duka, sukses atau gagal, JANGAN KAU BIARKAN DIRIMU MELEKAT atau TERSANDERA OLEH SEMUA ITU. Inilah prinsip yang dalam bahasa Pali dinamakan NEKKHAMMA, terjemahan Inggrisnya “detachment” atau “non-attachment”. Terjemahan Indonesia: keberjarakan, ketidaklekatan, kondisi tidak dikuasai, kondisi terpisah-tapi-bersama.


Belajarlah kearifan dari bunga teratai!

Lihatlah dunia sekitarmu. Nekkhamma itu diperlihatkan dengan jelas oleh setangkai bunga teratai dan daun-daunnya yang hijau mekar dan terhampar di atas air yang kotor atau air yang berlumpur hitam. Lapisan semacam minyak pada seluruh permukaan helai-helai daun dan helai-helai bunga teratai membuat bunga teratai ini tidak ikut ternoda atau tercemar oleh air yang kotor atau lumpur yang hitam. Berada di air keruh, dengan akar masuk ke dalam air yang kotor, tidak membuat setangkai teratai ikut kotor. Bunga teratai tidak lekat pada air meskipun ada di air. Ada jarak. Ada kemerdekaan. Ada pemisah. Ada ketidaklekatan.

Dengan menjalankan prinsip NEKKHAMMA―lewat latihan dan membiasakan diri terus-menerus TIDAK LEKAT, MENGAMBIL JARAK, TIDAK DIKUASAI, terhadap dan oleh apapun yang kita miliki atau yang kita tidak miliki atau yang sedang kita alami―kita akan makin bisa hidup dengan merdeka, terlepas dari rasa sakit dan pedih, dari azab dan sengsara, dari tipudaya dunia, dari rasa kehilangan, dari rasa kekurangan, dan dari rasa kelebihan. Lalu kita masuk ke dalam kehidupan yang tenang, kalem, simpel, bersahaja, cukup, puas, damai, sejuk, teduh, riang, dan memberi kebahagiaan, naungan, perteduhan dan ketenteraman bagi sesama manusia dan makhluk-makhluk lain.

Dunia tidak bisa engkau jauhi sebab engkau ada di dalam dunia. Dunia boleh ada seperti biasa, yakni campuran suka dan duka, kekerasan dan kelembutan, sakit dan sehat, kuat dan lemah, kaya dan miskin, mati dan hidup, perang dan damai, tawa dan tangis, sukses dan gagal, memiliki dan tidak memiliki, berpakaian dan telanjang, kenyang dan lapar, terang dan gelap, sesak dan lapang, pahit dan manis.

Tetapi dengan NEKKHAMMA, kita tidak dikendalikan semua itu. Bukan hal-hal itu yang menjadi sang master atas diri kita. Tetapi sebaliknya: kitalah sang master yang tak terkalahkan atas semua kondisi itu, lewat sikap merdeka kita, lewat ketidaklekatan kita, lewat keberjarakan kita, lewat kemandirian kita, lewat keterpisahan kita.

Jika setiap orang sukses melaksanakan NEKKHAMMA, maka kehidupan dunia, kehidupan perorangan, dan kehidupan masyarakat, akan berubah menjadi kehidupan yang berdayatahan, yang menenteramkan.

Di dalamnya orang hidup tidak rakus, tidak korup, tidak serakah, tidak panik, tidak bejad, tidak egois, tidak culas, tidak dengki, tidak haus segala hal dan segala benda, tidak gila kekuasaan, tidak dikalahkan nafsu berahi, tapi agung dalam pikiran, kehendak, ucapan dan tindakan. Satu sama lain peduli. Saling menguatkan, saling menyembuhkan, saling membebaskan dari segala belenggu matarantai dukkha, sakit, kesepian, hawa nafsu, niat jahat, mati dan kelahiran, dan kesia-siaan.


Begitulah petunjukku bagimu, puteraku. Telunjukku terarah ke sang rembulan saja. Kamulah yang perlu sampai di sana. Dekat saja jaraknya jika engkau memahami semua ucapan papamu di atas. Jadikanlah nasihat papa ini sebagai sebuah jembatan untuk kamu menyeberang masuk ke nirwana. Nirwana itu ada dalam dirimu, tidak jauh lokasinya, dan tidak jauh di masa depan.

Wahai puteraku
Hidup ini memang duka 
Tak ada kehidupan tanpa ratapan
Jadi, bernyanyilah!

My son
Life is indeed suffering
Life without cry does not exist
Therefore, sing cheerfully!

Semoga semua makhluk berbahagia.

Jakarta, 08 Feb 2017
ioanes rakhmat

Wednesday, February 1, 2017

Tanpa teknologi, kita semua akan (cepat) mati! Cobalah!

Teknologi itu applikasi teknik dari sains. Menolak dan membenci sains, atau menyusun sains gadungan (pseudoscience) atau sains politik rongsokan (junk science), hanya akan membuat kita cepat mati, peradaban menurun lalu punah dan kiamat datang.

Teknologi, mulai dari zaman manusia purba hingga kini, yang sederhana sekalipun, tidak bisa manusia lepaskan!

Gerakan yang menamakan diri “back-to-nature movement” tidak pernah berhasil, walaupun dipropagandakan besar-besaran bahwa mereka berhasil, tapi sayangnya tidak pernah disertai bukti-bukti ilmiah yang solid.

Ada kalangan yang mempropagandakan bahwa produk-produk pertanian dan peternakan yang sepenuhnya alamiah, yang tidak memakai cairan pemberantas hama, atau yang tidak lewat rekayasa genetik, dijamin keamanannya. Sementara, kata mereka, produk-produk makanan atau santapan apapun yang memakai insektisida dan diintervensi teknologi buatan manusia sangat berbahaya. Tetapi berbagai propaganda tentang bahaya GMF/GMO atau GEF/GEO (Genetically Modified or Engineered Foods or Organisms) ini telah banyak dibantah dan dipatahkan lewat argumen-argumen dan bukti-bukti ilmiah seperti dibentangkan misalnya di sini.

Ini sebetul-betulnya propaganda!

Tubuh kita khususnya memiliki bentuk, anatomi, jejaring fisiologis dan komposisi biologis yang harus memerlukan teknologi untuk bisa hidup lama atau bertahan ketika diserang berbagai penyakit dan kejadian buruk.

Ada teknologi yang sangat sederhana, sederhana, maju, sangat maju, dan luar biasa maju sehingga kita terpana ketika melihatnya bak terkena sihir.

Manusia purba, misalnya, membuat dan memakai sendiri teknologi sangat sederhana ketika mereka menempa dengan batu-batu tajam sebuah balok batu untuk mereka jadikan gada atau martil alamiah atau mata lembing.

Paku modern juga sebuah produk teknologi yang dihasilkan dari mesin-mesin berat di pabrik. Begitu juga, martil besi bertangkai itu sebuah bentuk teknologi yang sederhana tapi untuk memproduksinya dibutuhkan teknologi yang lebih tinggi. Tambang yang anda pakai atau jepitan jemuran yang terbuat dari kayu juga barang-barang teknologis. Jangan dikata, betapa rumit dan canggihnya sains-tek yang dibutuhkan untuk menghasilkan mesin CT-Scan atau mesin MRI, apalagi untuk mesin sains terbesar dan terumit di dunia sekarang ini, Large Hadron Collider.

Tentu anda sudah (atau perlu) tahu bahwa hewan-hewan non-manusiapun, mulai dari semut, aneka burung, berang-berang hingga gajah, dll, juga secara naluriah membuat sendiri barang-barang yang membuat mereka bisa hidup terlindungi atau terbantu dalam kegiatan mereka sehari-hari. Jika hewan-hewan non-manusia memerlukan banyak peralatan yang mereka buat sendiri untuk hidup, begitu juga manusia yang berakal.

Kita jadi paham, pantaslah jika pseudosains dan sains rongsokan suka sekali disebarkan oleh kalangan agamawan yang tidak cinta planet Bumi, sains-tek, dan pembangunan peradaban, pendek kata: kehidupan di Bumi. Mereka ingin segera masuk ke “alam lain” yang tidak butuh raga, kebudayaan, sains-tek, peradaban dan planet Bumi.

Saya sih gak tertarik dengan alam lain itu. Saya mencintai Bumi dan jagat raya yang real.

Surga ya saat kita hidup sehat, umur panjang, hati dan pikiran kita damai, tidak kekurangan kebutuhan untuk hidup, cerdas dan maju, lahan sawah dan ladang subur, industri ramah lingkungan makin maju, udara bersih, energi terbarukan berlimpah, dunia damai.

Neraka ya saat kita kelaparan, miskin, terlantar, penyakitan, dirajam oleh perang, mati mengenaskan, hidup dalam lingkaran setan kekumuhan dan kekotoran lingkungan dan air, serba kekurangan, tidak sekolah alhasil tetap bodoh, hati dan pikiran hanya berisi kejahatan dan keculasan, dan dunia mengalami krisis atau kehabisan energi.

Tapi kalau ada realitas lain yang lebih REAL dan FAKTUAL dibandingkan yang saya sudah gambarkan singkat di atas SETELAH SAYA MATI, yang disebut SORGA, ya saya tentu mau juga hidup di sana untuk mengembangkan lagi sains-tek supaya kondisi kehidupan di sana MAKIN BAIK.

Kalau di sana saya akan menganggur, tidak bisa membaca, berpikir dan menulis, tidak bisa mengajar dan mendidik, tidak bisa mendampingi anak-anak, tapi hanya bernyanyi atau bersenang-senang dan plesiran saja abadi, tidak berprestasi apa-apa lagi di dunia sains-tek, dan tidak perlu lagi menebar ilmu, cinta kasih dan kebajikan, ya saya tidak memerlukannya sekalipun dijamin akan pasti masuk karena saya bla bla bla bla.

Dus, saya mencukupkan diri untuk hidup sebaik-baiknya di planet Bumi sekali saja. Saya tidak serakah kehidupan. Untuk cicit-cicit saya dan anda nanti, ya cukup hidup sekali saja dengan bernilai misalnya di planet Mars atau di bulan Titan.

Ada sebuah artikel bagus yang melengkapi uraian saya di atas tentang kemutlakan teknologi bagi kehidupan kita. Bacalah di sini.

Silakan share.

Salam,

ioanes rakhmat

01 Feb 2017