Sunday, April 24, 2016

Sebuah catatan pendek untuk Romo Frans Magnis Suseno tentang Ahok

Baru saja, 22 April 2016, rohaniwan Gereja Katolik di Indonesia, yang juga bekerja sebagai seorang mahaguru di STF Driyarkara, Rawasari, Jakarta, Rm. Frans Magnis Suseno, menyatakan sesuatu di sebuah koran online Teropong Senayan tentang usaha relokasi penduduk kawasan Luar Batang oleh Pemprov DKI./*/

Rm. FMS melihat hal yang sedang terjadi adalah “penggusuran”, “pengusiran”, “kejahatan”, “kebiadaban”, “ketidakmanusiawian”. Beliau juga menghimbau atau juga memprovokasi warga mapan DKI untuk tidak “berpartisipasi dalam kebiadaban”, tapi harus berkeberatan dan melawan usaha-usaha penggusuran orang miskin yang sedang dijalankan Gubernur Ahok.

Hemat saya, FMS tidak tepat kalau bermaksud mendorong warga mapan DKI untuk bangkit lawan Ahok. Lagian, tak akan ada yang mau. Kalau mau unjuk pendapat, sebaiknya beliau datang saja langsung ke Balai Kota, debat ilmiah di sana dengan Gubernur DKI Pak Ahok. Adu mulut juga boleh. Asal jangan adu jotos.



Kekumuhan itu tidak manusiawi, tidak beradab, sumber banyak penyakit, TBC misalnya. Juga banyak bakteri yang kalau mendiami tubuh anak-anak, tubuh mereka lambat besar, ceking dan daya imunitas tubuh lemah. Kondisi ini umumnya akan bisa membuat kecerdasan anak-anak tidak dapat berkembang sehat.

Jangan juga dilupakan bahwa di negeri kita ini kekumuhan dan kemiskinan apapun dan dimanapun bisa dengan lihai dan licik dijadikan mesin-mesin pencetak uang oleh sejumlah kalangan yang tak punya nurani lagi.



Gubernur Ahok mau meniadakan kekumuhan. Bukan menggusur. Bukan mengusir. Rm. FMS salah, kalau bilang Gubernur Ahok menggusur atau mengusir. Ahok bukan Soeharto. Ahok merelokasi. Penduduk dipindahkan ke rusunawa atau rusunami yang dilengkapi dengan berbagai sarana-prasarana dan fasilitas lain yang menunjang. Bukanlah suatu permainan kata jika yang dipakai kata “relokasi”, bukan kata “menggusur” atau “mengusir”.

Setahu saya juga, Gubernur Ahok sudah menetapkan larangan untuk sebuah mall baru dibangun lagi di DKI yang hanya akan banyak menguntungkan para kapitalis pengembang dari berbagai latarbelakang etnis. Selain itu, Jakarta juga memerlukan lebih banyak lahan atau ruang terbuka hijau (RTH) yang luas, yang berfungsi utama sebagai lahan serapan curahan air hujan untuk ikut mengatasi banjir di DKI.

Nah, kalau anda mau tahu mana fakta (Pemprov DKI) dan mana fiksi (ciptaan Yusril dan FPI) tentang penataan kawasan Luar Batang dan kawasan Pasar Ikan, baik yang sudah dijalankan maupun yang sedang dan akan dilakukan, infonya sudah dibeberkan oleh Pemprov DKI dengan gamblang dan terang. Dalam hal ini, oleh Deputi Gubernur bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jaya, Oswar Muadzin Mungkasa. Silakan klik link kedua yang saya cantumkan di akhir catatan pendek saya ini./**/ Kalau anda atau, misalnya, Rm. FMS, masih juga tidak percaya setelah mengetahui fakta-fakta ini, ya jalan satu-satunya yang masih tertinggal adalah ini: lewat doa yang khusuk, anda tanya langsung ke Tuhan di langit yang sunyi tanpa ada demo apapun di sana, mana yang faktual dan mana yang fiksional.

Nah, terkait relokasi apapun, tentu masih ada soal-soal lain yang tidak bisa dengan secepat kilat terselesaikan, sama seperti kalau kita pindah ke sebuah rumah lain di kota lain atau di luar negeri. Perlu waktu untuk betah. Untuk adaptasi diri. Untuk cari pekerjaan atau usaha baru. Untuk bergaul dan berbudaya baru. Pendek kata, untuk hidup baru, bukan untuk mati berkali-kali.

Kerap terjadi apa yang dinamakan kejut budaya atau “culture shock” kalau orang pindah ke kawasan baru yang asing, khususnya kalau kita pindah ke suatu negeri lain yang penduduknya berbicara dalam bahasa asing dan hidup berbudaya yang berbeda. 

Nah semua tahap dalam beradaptasi, bersosialisasi dan menjalani suatu kehidupan baru di lingkungan yang baru ini, harus bisa dihadapi dan dilewati dengan melibatkan bantuan para profesional lintasbidang.

Jadi, lebih baik sebagai seorang rohaniwan, Rm. FMS terlibat dalam penanganan soal-soal sosiopsikologis itu yang muncul pasca-relokasi alih-alih memprovokasi warga mapan DKI untuk melawan Ahok. Sekali lagi, apa ada yang mau?

Saya sungguh kecewa kalau betul Rm. FMS berpandangan seperti yang terbaca dalam tulisan di Teropong Senayan tersebut di atas. Kelihatan beliau tidak tahu duduk persoalan sebenarnya yang memang tidak simpel. Saya sendiri diam-diam terus mempelajari langkah-langkah Gubernur Basuki dalam program-program relokasi penduduk di wilayah-wilayah tertentu DKI yang sedang diayunkannya.

Rm. FMS tentu punya kebebasan berpendapat. Tetapi sebagai seorang akademisi juga, mustinya beliau berpijak pada data dan fakta sebelum mengajukan pendapat negatif tentang relokasi penghuni kawasan Luar Batang. Pak Ahok punya segudang data di kantornya. Kunjungilah Gubernur Ahok di sana. Tukar pikiran tentang arah dan tujuan ke depan dari relokasi tersebut. Itu jauh lebih baik ketimbang sang romo ikut menyiram bensin ke dalam kobaran suasana yang sudah cukup panas untuk membakar lebih besar lagi.

Saya sudah cari info ke beberapa pihak yang kenal dekat Rm. FMS untuk memastikan apakah pendapatnya yang sudah viral sekarang ini otentik atau hoax atau aspal. Sampai detik ini, saya belum bisa memastikan.

Ada yang beri saya info, bahwa tulisan itu otentik, ditulis Rm. FMS di tahun 2003, ketika DKI dipimpin Gubernur Sutiyoso (6 Oktober 1997 hingga 7 Oktober 2007), tapi juga dibumbui oleh editornya dengan opininya sendiri di tahun 2016. Salah seorang yang berkeyakinan demikian adalah Yewangoe, mantan Ketum PGI. Artinya, Yewangoe tidak percaya kalau Rm. FMS dapat berpandangan demikian negatif tentang relokasi di tahun 2016 ini saat DKI dipimpin Gubernur Ahok.

Tetapi, ada seorang romo kolega Rm. FMS yang kepada saya kemarin telah menyatakan bahwa betul itu pendapat Rm. FMS saat diwawancara beberapa hari lalu, 22 April 2016, yang kemudian diterbitkan dengan diberi banyak bumbu tak sedap oleh si jurnalis pewawancara. Meskipun demikian, sang kolega FMS yang telah berkomunikasi dengan saya itu menegaskan bahwa “KTP-ku tetap buat Ahok sebab Ahok jauh lebih baik dibandingkan orang-orang lain yang mau mencalonkan diri!

Susahnya, Rm. FMS dikabarkan tetap membisu ketika seorang kolega beliau lainnya tadi pagi bertanya tatap muka dan memberitahu reaksi-reaksi yang sedang muncul terkait pendapat-pendapatnya tentang relokasi. Padahal mustinya Rm. FMS proaktif memberi klarifikasi. Ini membingungkan. Bukan mencerahkan. 

Sikap membisu itu sangat bisa ditafsirkan bahwa Rm. FMS  memang tetap konsisten dengan sikap dan pendiriannya sejak 2003 hingga 2016 bahwa beliau menolak setiap usaha penggusuran atau pengusiran orang miskin dari tempat-tempat tinggal mereka selama ini, sekalipun tempat-tempat tinggal mereka itu kumuh. Dengan sikapnya ini Rm. FMS jadinya menutup mata terhadap perbedaan sangat mencolok antara sikap Soeharto (dan penerusnya) dan sikap Gubernur DKI, Pak Ahok, terhadap orang miskin yang berdiam di kawasan-kawasan pemukiman kumuh atau di kawasan-kawasan yang oleh hukum dilarang dijadikan tempat tinggal. 

Kita semua pasti setuju bahwa tugas utama seorang gurubesar di bidang keilmuwan apapun adalah menyebar pencerahan dan kearifan, bukan kegeraman dan ketidaktahuan. Memberi bukan opini tanpa pijakan fakta dan data, tapi evaluasi ilmiah yang cerdas dan berintegritas.

Tetapi, apapun pendapat dan sikap Rm. FMS, itu urusannya sendiri. Yang penting, kita harus menentukan sikap dan pendirian kita berdasarkan nurani kita sendiri, kecerdasan, nalar, pengetahuan yang luas dan benar, dan marwah diri yang tidak boleh kita jual. 

Salam.
Jakarta, 24 April 2016
ioanes rakhmat

Tuesday, April 19, 2016

Ahok, “Emha Ainun Najib”, dan Uskup Desmond Tutu

Ada sebuah meme yang kini berseliweran di berbagai medsos yang memuat ucapan dan foto sosok yang sudah dikenal, yang bernama Emha Ainun Najib (EAN). Pertama kali saya menemukannya terpasang di Home salah satu akun Facebook saya. Saya tidak tahu, apakah ucapan ini otentik, atau dikarang-karang orang lain untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Di bawah ini meme tersebut.


Saya percaya, Pak EAN sendiri akan mau memberi klarifikasi, apakah betul meme itu karyanya sendiri. Setahu saya, EAN adalah sosok Muslim nusantara yang ramah dan sudah terbebaskan dari kerangkeng primordialisme SARA. Beliau seorang Muslim milik semua orang yang beragama dan beretnis apapun di Indonesia. Saya menyukai beliau.

Ucapan “EAN” pada meme tersebut berbunyi begini:
“Ada tamu datang membersihkan rumah, dan secara canggih dan tegas mengusir tikus-tikus. Kami sekeluarga terpesona. Kami menerimanya sebagai keluarga. Karena tamu itu lebih menguasai pengelolaan rumah dibandingkan kami sekeluarga. Akhirnya, rumah kami menjadi rumahnya. Dan kami numpang. Berkat kebaikan hatinya.”
Ucapan di atas membuat saya langsung teringat pada sebuah ucapan yang agak mirip. Ucapan yang agak mirip ini keluar dari mulut Uskup Agung Afrika Selatan yang sudah pensiun, Desmond Tutu (DT), lahir 7 Oktober 1931 di Klerksdorp, Afsel.

DT adalah sosok terkenal di dunia sebagai aktivis HAM dan sosial di tahun 1980-an, yang menentang politik apartheid yang pernah membelenggu orang kulit hitam Afrika Selatan. DT telah menerima banyak penghargaan, antara lain Anugerah Nobel Perdamaian (1984), Anugerah Perdamaian Gandhi (2007), dll.


Di bawah ini terjemahan saya atas sebuah ucapan DT yang sangat terkenal. Ucapan ini membuat banyak orang merenung-renung tentang agama yang menjadi wahana untuk menjajah, atau penjajah yang datang dengan berjubah agama. Untuk teks Inggris aslinya, lihat gambar 2 terlampir di atas. Ucap DT:
“Ketika para pekabar injil dulu datang ke Afrika Selatan, mereka mempunyai Alkitab, dan kami mempunyai tanah. Mereka berkata, ‘Mari kita berdoa!’ Kami menutup mata kami. Di saat kami membuka mata kami kembali, kami memiliki Alkitab, dan mereka memiliki tanah kami.”
Saya hanya bisa menduga bahwa “tamu” yang dimaksud “EAN” di atas adalah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok (mungkin saya salah mengidentifikasi!). Kedua ucapan di atas mirip. Tetapi juga sangat berbeda.

Para pekabar injil yang datang ke Afsel di era gerakan Desmond Tutu, dan di era jauh sebelumnya, adalah memang orang-orang asing, para tamu, yang bertujuan menjajah Afsel dengan mula-mula memakai jubah agama dan membawa aksesoris agama. Tidak ada cinta dalam diri mereka terhadap rakyat Afsel.

Sebaliknya, Gubernur Ahok bukan tamu, bukan orang asing, bukan pendatang, juga bukan penjajah berjubah agama, tetapi WNI yang mencintai NKRI dan bangsa Indonesia, khususnya penduduk DKI dan lebih khusus lagi rakyat miskin di Jakarta yang semula tidak punya tempat tinggal yang sah dan tidak punya rumah sendiri yang layak.

Sebagian besar rakyat miskin di DKI yang dicintai Gubernur Ahok ini semula membangun rumah-rumah seadanya di atas tanah milik negara atau kawasan-kawasan yang oleh hukum dilarang dijadikan tempat tinggal. Kini, lewat program relokasi, mereka telah pindah dan mendiami rusunawa (rumah susun sederhana sewa) atau rusunami (rumah susun sederhana milik sendiri) di tempat-tempat lain. Kedua jenis rusun ini didukung berbagai fasilitas dan sarana-prasarana lain untuk membuat mereka bisa hidup dengan baik setelah mengalami relokasi. Tentu di sana tetap masih ada sejumlah persoalan lain sebagaimana lazimnya di dalam semua masyarakat manapun di dunia.

Juga kita perlu eling bahwa ada sangat banyak pekerja kecil penduduk DKI, atau karyawan kecil penduduk di kawasan-kawasan satelit DKI, yang berjuang sungguh-sungguh keras, banting tulang, siang dan malam, cari nafkah, dan hidup sangat hemat. Untuk apa? Untuk bisa memiliki sebuah rumah sederhana sendiri lewat kredit bank selama puluhan tahun. Sekali lagi, selama puluhan tahun! Kalangan yang kedua ini punya martabat: tidak mau menyerobot tanah negara atau kawasan umum, yang lalu didiami sendiri atau disewakan ke orang lain.

Siapapun mereka, kalangan manapun mereka yang berdiam di DKI, tidak akan pernah dijahati Pak Gubernur Ahok karena beliau bukan tamu, bukan pendatang, bukan penjajah berjubah rohaniwan, tetapi sama-sama WNI yang mencintai rakyat.

Marilah kita semua bersatu, bahu-membahu membangun bangsa dan negara. Jangan kita mau terus diadudomba oleh pihak-pihak yang kelihatannya saja sedang berjuang untuk rakyat, tetapi sebenarnya sedang memperjuangkan berbagai kepentingan egoistik mereka sendiri dengan menghalalkan segala cara.

Salam,
Jakarta, 19 April 2016
ioanes rakhmat


Thursday, April 14, 2016

Tanya-jawab pendek via Twitter dengan Rustam Ibrahim (dari LP3ES) tentang Ahok

Anda pasti salah, jika anda menolak korupsi! Inikah budaya Indonesia?


Rustam Ibrahim (RIB) pernah menjadi direktur LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), sebuah lembaga yang sudah dikenal.

Pada 13 April 2016 kemarin, pukul 07.58 WIB, dari lokasi Jalan Setia Budi, Indonesia, RIB mempublikasi di akun Twitter-nya apa yang diberinya judul POLLING (atau Jajak Pendapat). Sampai saat dipublikasi pertama kali, polling ini telah diikuti 1.143 suara, dengan durasi yang masih tersisa 19 jam 59 menit. Di akun Twitter @Rustam Ibrahim, lengkap termuat hasil polling tersebut.

Sebuah pertanyaan polling lewat medsos Twitter RIB berbunyi demikian: Setelah menjalani pemeriksaan di KPK, bagaimana penilaian anda tentang Gubernur Ahok dalam kasus RS Sumber Waras?

Jawaban yang masuk:
1. Ahok tidak korupsi 34 %
2. Ahok terlibat korupsi 61 %
3. Ragu-ragu 2 %
4. Tidak tahu 3 %

Hasil polling di medsos seperti Twitter jelas punya banyak cacat metodis. Misalnya, 1 orang bisa memberi 100 suara yang isinya sama, lewat 100 akun Twitter-nya sendiri yang memakai nama-nama dan berbagai avatar (gambar profil) yang tidak sama! LOL. Selain itu, responden tidak bisa kita kategorikan dengan pasti ke dalam segmen-segmen masyarakat yang harus mencerminkan dan merepresentasikan suara keseluruhan masyarakat; dan lain sebagainya. Alhasil, jajak pendapat RIB ini dus juga tidak layak diperhatikan dengan serius. Diperlakukan sebagai sebuah berita hoax, malah bisa sekali. Tapi dengan naif sebuah media online Okezone menerbitkan polling Pak RIB itu dengan menyebut LP3ES sebagai otoritas kelembagaan penyelenggara survai. Orang sudah tahu, siapa sosok penunjang budget media online Okezone. Konon, sosok ini menaruh dendam kepada Pak Ahok lantaran rencana bisnisnya telah digagalkan Gubernur DKI ini demi keadilan dan hukum. Ini link ke media Okezone itu http://news.okezone.com/read/2016/04/13/338/1362022/61-persen-responden-polling-percaya-ahok-terlibat-korupsi

 
Gambar 1

Saya beberapa saat lalu menyempatkan diri bertanyajawab dengan Pak RIB sekitar polling di akun Twitter-nya itu. Saya memulai dengan sebuah pertanyaan (lihat gambar 1 terlampir):
@RustamIbrahim Apakah anda sedang berpolitik, or sedang bekerja sebagai peneliti keilmuwan? Saya tanya lantaran ini.
Maksud saya dengan lantaran ini adalah lantaran berita polling RIB via medsos Twitter yang cacat ini, yang dimuat di Okezone tersebut di atas. Link ke berita di Okezone itu saya cantumkan dalam ruang pertanyaan di Twitter saya itu. Lalu dalam waktu singkat, muncul sebuah jawaban dari RIB, begini (lihat gambar 2 terlampir):
Di media sosial, sebagai pribadi, saya tidak melakukan kegiatan penelitian. Penelitian menuntut penerapan metode ilmiah.
Dengan jawabannya itu, jelas, polling RIB itu diakuinya sendiri bukan sebuah polling ilmiah. Lantas, apa maunya beliau? Ya mungkin beliau hanya sedang melempar sebuah opini pribadi, untuk sebuah kepentingan non-ilmiah. Entah apa.

 
Gambar 2

Selanjutnya, RIB melanjutkan dengan dua kicauan berikut ini (lihat gambar 3 terlampir):
Kalaupun saya kelihatan seperti berpolitik, mendukung seseorang, yang saya dukung adalah NILAI-NILAI yang dipraktekkannya. 
Saya sebagai pribadi sedang melakukan upaya menanamkan citizenship, HAM dan demokrasi kpd generasi muda. Lihat TL saya.
Bagi saya, ya jelas niat RIB itu sangat baik. Tapi kenapa dia sampai harus mengumpankan polling tidak ilmiah itu ke masyarakat Indonesia, yang kini telah dan sedang beredar luas lewat berbagai medsos dan koran online, sambung-menyambung? Apa tujuannya? Terus terang, kepala saya jadi keleyengan.

 
Gambar 3

Hemat saya, setiap orang yang punya latarbelakang akademik, sebagai seorang intelektual, hendaknya menjalankan tugas mereka sebagai intelektual, bukan sebagai para politikus yang sarat dengan berbagai kepentingan non-ilmiah, misalnya menghimpun harta, kekayaan, kekuasaan dan kehidupan yang nikmat, sebanyak-banyaknya. Kalau mereka yang melihat diri sebagai para intelektual mau dan perlu ikut bersuara di dunia politik, ya bersuaralah dengan landasan-landasan keilmuwan dan dengan bermartabat. Jangan ideologis. Tapi saintifik! Jangan kerdilkan diri. Sebagai manusia, kita semua diberi kemampuan untuk hidup agung. Jika demikian, mengapa kita masih mau memilih hidup kerdil?   

Lalu, terakhir, lewat akun Twitter yang sama, saya meminta pendapat RIB terhadap sebagian tanya-jawab yang berlangsung di ruang pemeriksaan Komisi KPK, Jl. Rasuna Said, Jakarta Selatan, antara Pak Ahok dengan seseorang (dari BPK) yang ikut menanyainya (lihat gambar 4 terlampir). Pemeriksaan terhadap Pak Ahok ini berlangsung selama kurang lebih 12 jam (mulai pukul 09.15-21.30 WIB), tanggal 12 April 2016. 

Orang-orang yang terus saja memusuhi Pak Ahok sangat berharap, di malam itu juga Pak Ahok akan dikenakan sebuah rompi oranye, tanda sebagai seorang tahanan KPK. Ternyata mereka kecele banget. Kaget tak ketolongan! Dengan wajah yang tetap segar, Pak Ahok keluar dari ruang KPK, lalu bertanyajawab dengan sejumlah jurnalis, kemudian pulang ke rumah dengan kendaraannya sendiri.

Gambar 4

Tak lama sesudah itu, Pak Ahok membeberkan beberapa hal yang sangat penting yang muncul dalam tanya-jawab di KPK itu, tanpa ditutup-tutupi, untuk masyarakat lewat sebuah TV, dan kini sudah diunggah di Youtube. Kita semua sudah tahu, BPK terus bertahan pada pendapat mereka bahwa Ahok telah merugikan negara sebesar Rp. 191,2 M, walaupun pimpinan KPK dengan satu suara sebelumnya sudah menyatakan tidak ditemukan bukti apapun (minimal 2 bukti) bahwa Ahok telah korupsi.

Sebagian kita tentu sudah tahu isi sebagian tanya-jawab di ruang pemeriksaan KPK ini karena sudah dipasang di Youtube sejak 12 April 2016. Jika anda belum tahu dan belum sempat dengar, sekaranglah waktunya untuk mendengarkan. Ini hal yang sangat serius. Ini menyangkut masa depan negeri kita sendiri. Judul videonya Blak-blakan Basuki TP (Ahok) Beberkan Pertanyaan Jebakan Saat Diperiksa KPK Terkait Sumber Waras. Ini link ke video Youtube-nya https://youtu.be/BvjMiVmI4Yo

Tentu saja semua musuh Pak Ahok akan dengan gegabah menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan jebakan seorang auditor BPK itu (cukup aneh ya, dia bisa ikut berada dalam ruang pemeriksaan KPK dan menanyai Pak Ahok!) dan jawaban-jawaban telak Pak Ahok adalah hasil ngarang-ngarang Pak Ahok sendiri. Silakan mereka berpendapat begitu. Bagi saya yang masih waras berpikir, mustahil seorang Gubernur DKI yang bernama Basuki Tjahaja Purnama yang lebih sering disapa Ahok telah mengarang-ngarang sesuatu yang, jika betul, pasti akan menghancurkan dirinya sendiri! 

Setelah anda mendengarkan video di Youtube tersebut, pasti anda bisa simpulkan, siapa yang waras dan siapa yang sudah tidak waras terkait kasus RS Sumber Waras. LOL.

Nah, hingga detik ini, RIB belum menjawab permintaan terakhir saya lewat Twitter itu. Saya masih menunggu. Mungkin sekali, saya hanya akan mendapatkan sebuah jawaban sunyi dalam kesunyian mahadalam.

Akhirnya setelah dua hari saya menanti, Pak RIB menjawab juga pertanyaan yang paling akhir saya ajukan kepadanya lewat Twitter. Kesunyian dipecah menjadi sebuah madah yang bagus. Pak RIB kini mulai paham bahwa niatnya untuk mencerdaskan masyarakat tentang citizenship, demokrasi dan HAM lewat medsos Twitter ternyata bisa sia-sia karena kelemahan metodis yang di atas sudah saya beberkan dua contohnya. Pak RIB menyebut kelemahan metodis ini sebagai beternak akun.

Saya sekarang mau tambahkan satu lagi contoh bahwa polling lewat Twitter tidak bisa diandalkan. Ini terkait dengan apa yang dinamakan alamat IP (Intern
et Protocol; atau TCP atau Transmission Control Protocol) yang berfungsi sebagai pengidentifikasi sebuah komputer yang digunakan untuk mengirim data lewat berbagai rute dalam jejaring Internet. Jika sebuah jajak pendapat lewat medsos Twitter mau dapat diandalkan, alamat IP si pemilik satu akun Twitter saat si responden ini mengisi sebuah kuesioner survai lewat medsos ini juga harus diperiksa dan lokasi geografisnya serta si pengguna (individual atau kolektif) komputernya juga harus ditemukan sepersis-persisnya. Wah, ini akan luar biasa repot dan berbiaya tinggi.

Bagaimanapun repot dan berbiaya mahal untuk mengetahui, lewat IP sebuah komputer yang digunakan, siapa penggunanya (individual atau kolektif) dan di mana mereka berlokasi, harus kita ketahui bahwa satu orang (atau satu tim kerja) bisa pakai ribuan IP address (termasuk yang palsu) untuk membuat ribuan akun Twitternya sendiri (atau kolektif) dengan memakai nama-nama berbeda yang jumlahnya bisa ribuan lewat sangat banyak jejaring internal komputer. LOL. Orang semacam ini (yang bekerja bersama tim-nya) bisa ada sangat banyak demi mencapai tujuan dan kepentingan menguasai votes sebuah polling penting via Twitter atau medsos lainnya. LOL. Jadi, memang survai jajak pendapat lewat Twitter punya banyak kelemahan metodis yang serius. Tetapi, tentu saja, kalau hal yang mau disurvai lewat Twitter hanya hal iseng dan sepele (misalnya berapa kali sehari anda buang air kecil), semua kelemahan metodis yang saya sudah beberkan di atas dapat diabaikan begitu saja.

Ok sekarang saya lampirkan screenshot tiga tanggapan terakhir RIB di Twitter yang saya telah terima (lihat gambar 5 di bawah ini). Bacalah mulai dari yang paling bawah lalu ke atas. 


Gambar 5

Terhadap jawaban-jawaban Pak RIB ini, saya telah kirim sebuah tanggapan yang bersahabat, yang mengakhiri diskusi kami tentang Pak Ahok dan RS Sumber Waras. Lihat gambar 6 di bawah ini. 

Gambar 6

Terima kasih Pak Rustam Ibrahim atas waktu dan keterbukaan anda. Tetap semangat ya. Keep the spirit!

Silakan share tanpa perlu minta izin dulu. Terima kasih.

Salam,
Jakarta, 14 April 2016
ioanes rakhmat
Sang Sunyi

Update mutakhir 17 April 2016

Tuesday, April 12, 2016

Antara teokrasi Yesus dan demokrasi modern. Anda pilih mana?

Kebanyakan orang Kristen masa kini tidak mengetahui konteks religio-politis gerakan yang diprakarsai Yesus, yakni gerakan menghadirkan “kerajaan Allah”, artinya: gerakan mendatangkan dan menegakkan teokrasi, di tengah rakyat dan negara terjajah Yahudi pada abad pertama M. Karena itu, mereka menganggap Yesus sebagai seorang spiritualis yang memperjuangkan hanya hal-hal rohani, hal-hal spiritual, hal-hal batiniah, hal-hal yang tak ada hubungannya dengan politik atau (sistem) pemerintahan suatu negara.      

  
 Yesus hitam Afrika sedang demo di Bait Allah

Untuk mendukung anggapan ini, biasanya mereka akan mengutip teks-teks yang pada pandangan pertama tampak menampilkan Yesus sebagai seorang yang anti-politik atau apolitik, misalnya teks tentang keharusan memberi pajak kepada Kaisar dan keharusan memberi kepada Allah apa yang harus diberikan kepada Allah (Markus 12:13-17), atau tuturan pendek tentang Yesus yang menghindar (“pergi bersembunyi”) ketika dia (mau) diproklamirkan oleh massa Yahudi sebagai seorang raja Israel (Yohanes 12:12-16, 36b). Anggapan mereka ini tidak benar sama sekali.

Jauh lebih tidak benar lagi, ketika beberapa ucapan Yesus dalam Injil Yohanes dikutip-kutip untuk menyatakan bahwa Yesus sama sekali tidak peduli dengan kerajaan duniawi (misalnya Imperium Romanum, kekaisaran Romawi, atau kerajaan Israel sendiri), melainkan hanya peduli pada kerajaan rohani yang bukan dari dunia ini. Ucapan Yesus dalam Yohanes 18:36 seringkali dikutip, “Kerajaanku bukan dari dunia ini; jika kerajaanku dari dunia ini, pasti hamba-hambaku telah melawan, supaya aku tidak diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi kerajaanku bukan dari sini.”

Sudah menjadi suatu prosedur umum di kalangan para pakar pengkaji Yesus untuk tidak memakai Injil Yohanes sebagai sebuah sumber sastra autentik bagi pengkajian atas figur Yesus dari Nazareth, meskipun ada sejumlah kecil tradisi historis dalam injil ini yang dapat dikaitkan pada figur Yesus sejarah, selain tradisi-tradisi historis yang diambil penulis Injil Keempat ini dari injil-injil sinoptik (misalnya kisah kesengsaraan Yesus, passion narrative).

Ucapan Yesus yang baru dikutip di atas (Yohanes 18:36) adalah ucapan Yesus versi penulis Injil Yohanes, bukan sebuah ucapan Yesus dari Nazareth. Dalam kristologi penulis Injil Yohanes, Yesus digambarkan sudah sangat menjauh dari gambaran Yesus dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, dan Lukas). Orang menyebut kristologi dalam Injil Yohanes sebagai “kristologi dari atas” (high christology), yang berkontras dengan “kristologi dari bawah” (low christology) yang mendominasi injil-injil sinoptik.

Dalam kristologi “dari atas”, Yesus digambarkan sebagai suatu oknum sorgawi (baik sebagai sang Firman, maupun sebagai Anak Manusia surgawi) yang memiliki pra-eksistensi, berasal dari kawasan sorgawi, ada di sana, sebelum “turun dari atas”, masuk ke kawasan dunia “di bawah”. Sebagai oknum sorgawi Yesus digambarkan tidak berasal dari dunia ini, bahkan dunia ini dan segala isinya digambarkan tidak mengenal dia, bahkan menolak dia dan akhirnya menyalibkan dia. Nah, dalam bingkai kristologi “dari atas” inilah ucapan Yesus dalam Yohanes 18:36 harus ditempatkan. Sedangkan Yesus dari Nazareth sendiri, sebagai seorang manusia yang real dalam dunia ini, berasal dari dunia ini, tidak pernah mengucapkan kata-kata itu.

Dalam injil-injil sinoptik, gagasan Yesus tentang “kerajaan Allah” atau “pemerintahan Allah” atau “Imperium Allah” (Ibrani: malkuth hashamayim, kerajaan surga; Yunani: basileia tou theou), yang berlatarbelakang pada konsep religio-politis Perjanjian Lama, sungguh-sungguh adalah sebuah gagasan politis tandingan terhadap Imperium Romanum, kekaisaran Romawi, yang sedang menjajah negerinya (sejak 63 SM).

Sejak zaman Perjanjian Lama periode kerajaan (abad ke-10 SM), pemerintahan negara Israel kuno dipandang dan berlaku sebagai pemerintahan Allah, sebagai teokrasi, di mana Allah memerintah lewat wakilnya (seorang raja yang diurapi, sang messias, Raja Daud, misalnya) atau lewat hukum-hukum-Nya yang diberikan kepada wakil-Nya ini. Konsep sekularisme yang memisahkan agama dari politik, atau politik dari agama, adalah sebuah konsep modern yang sangat asing bagi dunia PL, bagi Yesus di abad pertama M, dan bagi umat Kristen perdana yang melahirkan Perjanjian Baru.

Teks-teks dalam PB tersebut di atas yang dikenakan pada Yesus jelas tidak mungkin dipahami dalam rangka sekularisme. Sesungguhnya teks-teks tersebut, dalam konteks historis Yesus sendiri, dapat dijelaskan sebagai teks-teks yang malah memperkuat teokratisme Yesus.

Kalau di tangan penulis Injil Markus teks Markus 12:13-17 tampak membuat Yesus takluk pada sang Kaisar yang bertakhta di Roma, atau membuat Yesus menganut “teori dua pedang” (pedang politik digenggam Kaisar Romawi, dan pedang rohani digenggam Paus), tidaklah demikian halnya di tangan Yesus orang Nazareth sendiri.

Ketika Yesus memberitakan bahwa kerajaan Allah sedang ada di tengah umat Yahudi (Markus 1:15; Lukas 17:21b; Lukas 11:20; Matius 12:28 ), yang Yesus maksudkan adalah bahwa Allah sedang berkuasa atas bangsa Israel sebagai umat Allah, atas tanah Israel sebagai tanah perjanjian, atas makanan dan minuman, atas uang dan semua bentuk kekayaan lain, atas semua masalah dan urusan ekonomi yang sedang dihadapi rakyat, atas Bait Allah di Yerusalem, atas segala sakit penyakit, roh-roh dan setan-setan, atas umur manusia, atas alam; pendek kata: atas segala sesuatu yang ada di tanah Yahudi. Dengan demikian, bagi Yesus, segala sesuatu yang ada di tanah Israel, bahkan tanah Israel itu sendiri, bukanlah milik sang Kaisar Romawi, tetapi milik Allah saja.

Jadi kalau Yesus menyatakan “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar” (Markus 12:17), yang Yesus maksudkan adalah: di tanah Israel, tidak ada sesuatu pun yang merupakan milik Kaisar, sehingga tak ada sesuatupun yang bangsa Yahudi wajib berikan kepada Kaisar. Akibatnya lebih jauh: karena Kaisar tak memiliki apapun di tanah Israel, tak berkuasa atas apapun di negeri Yesus, maka kekuasaan sang Kaisar atas tanah Israel harus diakhiri, dan sang Kaisar wajib menyerahkan kembali tanah Israel kepada Allah Yahudi, sang Pemilik sah tanah Israel, yang telah memberikannya kepada bangsa Israel, dan penjajahan Roma atas bangsa dan tanah Yahudi harus diakhiri. Sang Kaisar harus mengembalikan segala sesuatunya yang ada di tanah Israel kepada Allah bangsa Yahudi saja! Wakil-wakil sang Kaisar di tanah Yahudi harus pulang, balik ke negeri mereka sendiri, meninggalkan tanah Israel!

Orang bisa bertanya, apakah orang banyak (khususnya murid-muridnya), ketika Yesus mengucapkan kata-kata tentang kewajiban memberi kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan kewajiban memberi kepada Allah apa yang menjadi milik Allah, dapat menangkap maksud Yesus sebenarnya, yang sama sekali tidak harfiah? Memakai istilah-istilah modern, apakah mereka dapat menangkap bahwa lewat ucapannya itu Yesus tidak mengajarkan sekularisme melainkan teokrasi, sebagaimana sudah diuraikan?

Pertanyaan ini menjadi penting dan mendesak untuk djawab, mengingat Yesus, sambil mengucapkan kata-kata itu, juga menunjukkan sekeping koin dinar yang padanya tercetak gambar dan tulisan Kaisar (Markus 12:15-16), sehingga seolah Yesus mau orang banyak memahami ucapannya itu secara harfiah?

Jawab atas pertanyaan ini sederhana: Ada banyak kejadian yang di dalamnya Yesus melakukan tindakan-tindakan simbolik yang harus tidak dipahami harfiah, dan ada banyak ucapan Yesus yang dikehendaki Yesus untuk tidak dipahami atau ditangkap secara harfiah, khususnya ketika dia mengajar dengan menggunakan perumpamaan, aforisme, bahasa simbolik dan metafora. Penulis Injil Markus sendiri jelas melihat hal ini ketika dia, di dalam kitab injilnya, membuat Yesus mengucapkan kata-kata ini kepada murid-muridnya, “Kepadamu telah diberikan rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang luar segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan, supaya: sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti, supaya mereka jangan berbalik dan mendapat ampun.” (Markus 4:11-12).

Kita boleh mengernyitkan kening keheranan dan bertanya, Kok Yesus ingin membuat sebuah komunitas eksklusif yang tak terbuka untuk dimasuki orang luar? Tetapi, bagaimana pun juga, itulah setidaknya yang dipahami penulis Injil Markus mengenai cara dan tujuan Yesus berkomunikasi. Selain itu, sangat besar kemungkinannya ucapan dalam Markus 4:11-12 ini asli dari Yesus mengingat Yesus juga dicatat pernah berkata bahwa dia “diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari antara umat Israel” (Matius 15:24; bdk.10:6). Sangat mungkin, Yesus dari Nazareth memandang misinya sendiri hanyalah untuk menyatukan kembali suku-suku Israel yang sudah terceraiberai, sehingga dia tak menaruh perhatian sama sekali terhadap bangsa-bangsa non-Yahudi pada zamannya. (Jelas, kalau analisis isi dan analisis sejarah dilakukan pada perintah atau amanat misioner dalam Matius 28:18-20, maka harus ditegaskan bahwa ucapan ini bukanlah ucapan asli Yesus dari Nazareth.)

Usaha mempersatukan kembali suatu bangsa di dalam suatu negeri yang sedang dijajah bangsa lain jelas adalah suatu usaha politik yang berisiko besar. Suatu patriotisme dan nasionalisme yang membara! Setiap penjajah di manapun dan kapanpun menginginkan bangsa jajahannya terpecah-belah sehingga mudah untuk dikuasai terus-menerus. Divide et impera!

Jadi, dilihat dari sudut ini, bisa dimengerti mengapa Yesus menyamarkan visi dan misinya, mengapa dia mengajar dengan banyak memakai bahasa simbolik dan metafora.

Perlu kita ketahui, dalam banyak kebudayaan di dunia ini, dulu dan kini, ketika orang-orang bijak mau menyampaikan kebenaran-kebenaran, mereka banyak kali memakai perumpamaan, kiasan, tamsil, ibarat, peribahasa, aforisme, metafora dan bahasa simbolik.

Dalam dunia keagamaan dan dunia senibudaya khususnya, cara berkomunikasi dan mengungkapkan sesuatu lewat kiasan, perumpamaan, simbol-simbol, tanda-tanda, dan metafora, adalah cara yang paling banyak dipakai, sebab kedua dunia ini mengeksplorasi kebenaran-kebenaran yang multidimensional dan terus berkembang, kebenaran-kebenaran yang terus terbuka pada banyak penjelasan dan penafsiran yang tak pernah selesai, dan yang tak boleh dipantek mati pada satu titik permanen. 

Ketika analisis logis menemukan jalan buntu untuk sementara waktu, biasanya orang masuk ke dalam dunia senibudaya untuk mengungkapkan apa isi pikiran, hati dan intuisi mereka. Para fisikawan besar, misalnya, ketika belum sanggup menjelaskan sejelas-jelasnya sebuah fenomena fisika dalam bahasa sains yang eksak, mereka memakai gaya bahasa metaforis. Puisi-puisi juga banyak digunakan para ilmuwan empiris ketika mereka mau menyampaikan aspek-aspek lain dari suatu fenomena kosmik atau suatu fenomena mekanika quantum yang belum berhasil mereka ungkap dalam persamaan-persamaan matematis atau dalam proposisi-proposisi logis.  

Nah, masalah krusialnya muncul ketika seorang bijak, Yesus misalnya, atau Siddharta Gautama, atau Antisthenes dan Diogenes dari Sinope (dua filsuf aliran Sinisisme), atau Lao Tsu, atau Mahatma Gandhi, memakai bahasa simbolik atau metafora untuk menyampaikan hanya satu pesan yang tak ambigu, namun disamarkan demi menjaga keamanan dirinya, seperti halnya dengan ucapan Yesus dalam Markus 12:17.

Nah, dalam situasi ini, bagaimana bahasa simbolik dan metafora yang digunakan orang-orang bijak ini betul-betul dapat ditangkap dengan benar dalam satu makna saja oleh para pendengar mereka semula dulu atau oleh para pendengar atau pembaca mereka di kemudian hari?

Masalah ini dapat diatasi dengan cara ini: para pendengar mereka (khususnya murid-murid lingkaran dalam mereka, the inner circle) harus betul-betul sudah bergaul erat dengan mereka dalam jangka waktu yang lama, sudah mengenal pemikiran dan visi-visi mereka, sudah mengenal cara-cara dan bentuk-bentuk komunikasi verbal mereka, sudah cergas memahami dan menangkap kapan mereka mau dipahami secara harfiah atau secara metaforis lewat ucapan dan tindakan mereka, dan mampu menempatkan semua tindakan dan ucapan mereka pada konteks sosial aktual yang terbatas maupun yang luas.

Dengan kata lain, setiap ungkapan simbolik atau bahasa metaforis, jika ini dimaksudkan untuk membawa satu makna dan pesan saja, makna dan pesan yang satu ini dapat dengan benar ditangkap dan dipahami jika kita, dalam hal Yesus, mengenal teologi Yesus, kosa kata khas Yesus, gaya bahasa khas Yesus, gaya khas kehidupan Yesus, dan konteks sosial kehidupan Yesus dan konteks sosial aktual yang di dalamnya Yesus melakukan suatu tindakan simbolik atau mengucapkan pesan-pesan simbolik metaforis, serta persoalan-persoalan aktual yang sedang dihadapi Yesus dan bangsa Yahudi zamannya.

Jadi kajian sejarah dan kritik sastra harus digunakan ketika orang mau menangkap dan memahami ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan simbolik Yesus yang bisa memikul banyak makna dan pesan, tetapi dikehendaki Yesus hanya menyampaikan satu makna dan pesan.

Nah, sekarang kita lanjutkan ke sebuah episode lainnya dalam kehidupan Yesus, kali ini ke teks Yohanes 12:36b. Teks ini memuat sebuah catatan pendek bahwa Yesus “pergi bersembunyi” ketika dia, sementara memasuki kota Yerusalem pada masa perayaan Paskah Yahudi tahunan (lihat juga Markus 11:1-11; dan par.), mendapati orang banyak ingin melantiknya menjadi Raja Israel sementara mereka meneriakkan yel-yel “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Yohanes 12:13). Teks ini tampak autentik jika dibandingkan dengan teks-teks paralelnya dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, Lukas).

Dalam injil-injil sinoptik tak ada catatan bahwa Yesus segera pergi bersembunyi setelah dia melihat gelagat orang banyak ingin melantiknya menjadi seorang raja Israel. Dalam setiap perayaan Paskah Yahudi, nasionalisme dan patriotisme Yahudi sangat kuat muncul kembali karena dipicu oleh ingatan tentang kemerdekaan nenek moyang bangsa Israel dari perbudakan di Mesir pada masa yang sudah sangat lampau (yang setiap tahun diperingati sebagai Paskah), dan ini dapat menimbulkan berbagai kerusuhan besar di kota Yerusalem seperti pernah terjadi pada tahun 4 SM, dan pada masa Ventidius Cumanus memerintah Palestina dari 48 sampai 52 M, sebagaimana dilaporkan oleh Flavius Yosefus, seorang sejarawan Yahudi (Bellum Judaecum 2.10-13; 2.224; Antiquitates 17.204; 20.106-112). Untuk mencegah kerusuhan massal ini, kota Yerusalem (yang dipadati bisa sampai empat ratus ribu orang pada masa perayaan Paskah) dan khususnya Bait Allah dijaga dan diawasi dengan sangat ketat oleh sejumlah besar pasukan Romawi. Karena itulah, tidak mungkin pawai pelantikan yang digelar Yesus dan orang banyak ini bisa berlangsung aman-aman saja. Karena penilaian ini, ada sejumlah pakar kajian Yesus yang menyatakan bahwa kisah pawai pelantikan Yesus saat dia masuk ke kota Yerusalem adalah fiksi.

Nah, jika dalam Yohanes 12:36b dinyatakan bahwa segera setelah pawai ini Yesus pergi bersembunyi, pernyataan pendek ini mengindikasikan bukan bahwa Yesus menolak aspirasi orang banyak untuk mengangkatnya menjadi raja Israel (karena Yesus sendiri tidak menolak mengadakan pawai pelantikan dirinya sebagai raja, yang dimeriahkan dengan yel-yel pelantikan dan berbagai atribut lainnya), melainkan bahwa Yesus tahu betul bahwa aspirasi orang banyak ini yang tidak ditampiknya sama sekali adalah sebuah aspirasi politis yang sangat berbahaya. Karena itu, demi keamanan dirinya dan gerakannya yang masih belum matang, dia segera menyingkir, pergi bersembunyi, bisa jadi karena dia berpikir dengan benar bahwa tentulah pasukan Romawi sedang menyelidiki siapa orang yang telah mengklaim takhta raja Yahudi itu dan di mana orang ini kini berada, orang yang harus ditangkap dan diamankan.

Dalam tuturan injil-injil PB, sedikitnya ada dua metafora yang dipakai Yesus untuk menunjukkan bahwa dia memang sedang melawan penjajah Roma, yang dikehendakinya dapat dikalahkan olehnya dan oleh bangsa Yahudi. Dalam Markus 3:27, kekaisaran Romawi yang sedang menjajah tanah dan bangsa Israel disebutnya sebagai “orang kuat” (ho iskhuros). Kata Yesus, jika rumah orang kuat ini ingin dimasuki dan harta bendanya dirampas, orang kuat ini harus “diikat dahulu”.

Teks Markus 3:27 ini muncul dalam sebuah narasi pertikaian, yang dibuka dengan suatu tuduhan bahwa Yesus “kerasukan Beelzebul”, sang penghulu setan, roh jahat, yang lalu ditangkis Yesus (Markus 3:20-30). Jika “orang kuat” ini dimaksudkan Yesus sebagai “Beelzebul”, yaitu “penghulu atau kepala setan-setan”, atau “roh jahat”, penulis Injil Markus di tahun 70 abad 1 M memang mengidentikkan penjajah Romawi sebagai “setan” atau “roh jahat”, seperti kita baca dalam Markus 5:1-20.

Dalam tuturan Markus 5 ini, Yesus meminta roh jahat yang sedang merasuki seorang Gerasa “keluar dari” orang yang kerasukan ini. Sebelumnya, Yesus bertanya siapa nama roh jahat ini; lalu roh jahat ini menjawab, “Namaku Legion, karena kami banyak” (ayat 9). Nah, dalam dunia Yunani-Romawi abad-abad pertama, “legion” adalah sebuah sebutan dalam dunia kemiliteran untuk satuan prajurit pejalan kaki Roma ditambah pasukan berkuda, dengan jumlah sangat besar antara tiga ribu sampai enam ribu orang. Nama ini dengan demikian adalah sebuah metafora (yang dipakai dan dipertahankan penulis Injil Markus) untuk penjajahan Roma atas tanah Israel.

Ketika Yesus meminta Legion ini keluar dari tubuh orang yang dirasuki, roh-roh jahat ini meminta untuk diizinkan tetap tinggal di daerah itu (ayat 10); inilah memang kemauan Roma, yakni tetap menjajah tanah Israel, tetap mengontrol seluruh negeri. 

Dari jalannya kisah, kita dapat simpulkan, permintaan ini Yesus tak kabulkan. Lalu Legion ini meminta diizinkan untuk “pindah ke dalam babi-babi, dan memasuki” kawanan babi ini. Yesus mengabulkan permintaan mereka. Legion ini segera masuk ke dalam kawanan babi, lalu kawanan dua ribu ekor babi ini “terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya” (ayat 13) (Catatan: sebetulnya sama sekali tak ada danau di daerah Gerasa! Jadi, tampaknya penulis Injil Markus keliru mengidentifikasi tempat.)

Babi adalah binatang haram, tentu saja dalam pandangan agama Yahudi kuno. Ya, bagi Yesus, penjajah Roma memang adalah bangsa yang najis dan haram, sederajat dengan babi, dan hanya pantas dibenamkan ke dalam air danau sampai mati lemas. Tuturan tindakan Yesus di kawasan orang Gerasa ini, yakni melakukan eksorsisme, konsisten dengan kebanyakan tindakan Yesus lainnya, yang kuat dicirikan oleh pengusiran setan, sebagaimana dipercaya kalangan pengkaji Yesus pada umumnya.

Di mana-mana dan di banyak zaman, sebagaimana telah disingkap oleh antropologi kultural, dalam suatu pertikaian sengit dan besar, pihak-pihak yang bertikai kerap memandang lawan-lawan mereka sebagai representasi setan-setan. Demonisasi (demonization, demonizing) selalu dilakukan terhadap lawan-lawan, khususnya ketika lawan-lawan ini dirasakan terlalu kuat dan terlalu besar untuk dikalahkan. Injil-injil Perjanjian Baru, juga banyak dokumen PB lainnya, sarat dengan motif mendemonisasi lawan ini. Entah yang didemonisasi itu Yesus, atau, sebaliknya, Yesus mendemonisasi lawan-lawannya, seperti kita dapat baca misalnya dalam Injil Yohanes (Yohanes 8:44, 48). Dalam kekristenan perdana yang beranekaragam, motif menyetankan lawan ini juga muncul di mana-mana seperti telah diperlihatkan oleh Elaine Pagels dalam bukunya The Origin of Satan: How Christians Demonized Jews, Pagans, and Heretics (1996).

Harus diingat bahwa kematian Yesus tak pelak lagi adalah sebuah konsekwensi dari gerakan politiknya di suatu negara yang sedang dijajah oleh kekaisaran Romawi, yang memandang hanya Kaisar Roma yang berkuasa memerintah tanah Yahudi. Vonis dan penghukuman mati Yesus melalui penyaliban bukan tanpa dasar politis. Dasar politis kematiannya ini sangat kuat, yakni dia ditemukan terbukti mengklaim dirinya Raja Yahudi di suatu negeri yang di dalamnya boleh hanya ada satu raja yang berkuasa, yakni Kaisar yang bertakhta di kota Roma. Setiap orang yang melawan Kaisar dan kedaulatan Roma atas negeri jajahan harus dihukum mati. Tuduhan terhadap Yesus ini ditulis dan dipasang sebagai titulus pada balok kayu salibnya, yang berbunyi “Raja Orang Yahudi” (lihat Markus 15:26; Matius 27:37; Lukas 23:38; Yohanes 19:19).

Tak lama sebelum Yesus ditangkap (di suatu tempat, tak harus di Taman Getsemani!), dia telah mengadakan sebuah demo kecil di suatu sisi Bait Allah di Yerusalem, ketika dia mengintervensi bisnis penukaran uang dan penjualan hewan-hewan kurban di situ sambil mengucapkan kata-kata keras tentang Bait ini (Markus 11:15-18; 14:58; Injil Tomas 71; Yohanes 2:14-16a). Kegiatan fiskal dan komersial di Bait Allah ini memang diperlukan dan sah diadakan demi kelangsungan ritual-ritual kurban yang diadakan di dalamnya. Tetapi hanya lewat hierarki kepemimpinan dan fungsi para pengelola Bait Allah, ritual-ritual ini, khususnya ritual penyucian dosa, baru dipandang absah dan dipercaya mujarab.

Mengganggu jalannya sistem dan ritual kurban yang dikelola para pengurus Bait Allah bukan saja mengganggu otoritas Yahudi yang ada di balik penyelenggaraan ritual-ritual itu, tetapi juga otoritas Romawi yang bertanggungjawab untuk mengamankan penyelenggaraan semua ritual itu karena dari penghasilan yang diterima otoritas Yahudi dari ritual-ritual ini otoritas Roma juga mendapatkan bagian keuntungan yang besar.

Nah, barangsiapa mengganggu kedua otoritas ini, barangsiapa mengganggu Bait Allah, si pengganggu harus ditangkap dan umumnya akan langsung dieksekusi, lebih-lebih lagi jika gangguan ini diadakan pada musim perayaan Paskah Yahudi tahunan yang berlangsung selama tujuh hari.

Ada alasan yang cukup untuk orang percaya bahwa demo yang dilakukan Yesus di Bait Allah, meskipun berskala kecil, yang diadakannya sebagai suatu tindakan simbolik untuk menyetop semua kegiatan fiskal dan ritual di Bait Allah, adalah satu penyebab paling menentukan mengapa dia dicari dan akhirnya ditangkap, lalu, tak lama setelah itu, dieksekusi.

Demo Yesus ini bukan sekadar suatu demo keagamaan untuk “menyucikan Bait Allah”, melainkan suatu tindakan simbolis politis untuk mengakhiri fungsi Bait Allah sebagai sebuah pranata yang berperan sebagai broker antara Allah Yahudi dan umat Yahudi kalau umat ini mau mendapatkan penyucian dosa, peran broker yang dimainkan oleh para pemuka keagamaan Yahudi yang bertindak di dalam perlindungan dan kontrol Roma. Jadi, bagi Yesus, untuk mengalami perjumpaan dengan Allah yang rahmani dan rahimi, hierarki kepemimpinan keagamaan dan para perantara tidak diperlukan. Ini sebuah pandangan yang revolusioner dan radikal dan sangat politis.

Mudah sekali untuk membayangkan bahwa Yesus yang selalu memberitakan bahwa Allah Yahudi kini datang langsung kepada umat-Nya, tanpa broker, tanpa makelar, menjadi sangat terganggu dan naik pitam ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana peran langsung Allah ini telah dihambat oleh peran Bait Allah dan para penguasa Yahudi di belakangnya sebagai perantara-perantara yang menghubungkan Allah Yahudi dengan umat. Tanpa dapat dicegah, Yesus demo di salah satu serambi Bait Allah, dengan memporakporandakan meja-meja pedagang valuta asing dan mengobrak-abrik kandang-kandang hewan-hewan kurban yang semuanya diperlukan bagi kelangsungan ibadah dan ritual di Bait Allah dan sumber pemasukan kas Bait Allah lewat pajak yang dibebankan.

Ihwal bagaimana aspek-aspek politik tak dapat dilepaskan dari gerakan yang dibangun Yesus bersama murid-muridnya, sudah banyak diulas oleh para pakar pengkaji Yesus sejarah. Buku yang disunting oleh E. Bammel dan C. F. D. Moule, Jesus and the Politics of His Day (1985; cetak ulang 1992), dapat dijadikan sebagai sebuah bacaan awal.

Gerakan Yesus bagaimana pun juga adalah sebuah gerakan politis, meskipun tidak ada indikasi kuat apapun dalam injil-injil Perjanjian Baru bahwa Yesus memiliki dan membangun suatu pasukan bersenjata, yang disiapkan untuk suatu saat menggelar perlawanan militer terbuka terhadap Roma. Yesus memang seorang religiopolitis, tetapi sama sekali bukan seorang yang militeristik dan juga bukan seorang pemimpin perang!

Barangkali Yesus dari Nazareth menghayati diri sebagai seorang nabi apokaliptik, yang percaya bahwa di masa depan semua ketidakberesan dunia ini, termasuk ketidakberesan politik dan penjajahan Roma atas bangsa dan tanah Israel, akan diakhiri oleh intervensi langsung dari sorga oleh Allah sendiri bersama pasukan besar sorgawi-Nya, pada saat mana Bait Allah akan juga dihancurkan oleh Allah sendiri untuk diganti dengan Bait lain yang bukan buatan tangan manusia.

Ada sejumlah pakar yang menyarankan bahwa Yesus yakin intervensi ilahi ini akan terjadi pada saat dia ditangkap dan menjelang disalibkan, untuk menyelamatkan dirinya dan membebaskan Israel dari kekuasaan Roma, dan mendatangkan Bait Allah yang baru yang tidak dibuat oleh tangan manusia. Tetapi, sampai menjelang ajal dan ketika merasakan kesakitan luar biasa di kayu salib, intervensi Allah sebagai Sang Ayah ini tak kunjung terjadi sehingga Yesus merasa telah ditinggalkan dan ditelantarkan Allah.

Jika penulis Injil Markus memang mencatat sebuah ingatan historis tentang apa yang terjadi ketika Yesus sedang kesakitan di kayu salib, menurut penulis injil ini, Yesus akhirnya merasa sangat kecewa dan berteriak, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, artinya: “Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Markus 15:33). Inilah problem teodise (gabungan dua kata Yunani theos dan dikē yang berarti “keadilan Allah”) yang Yesus sendiri harus hadapi. Di manakah Allah yang mahaadil berada ketika seorang saleh seperti dirinya sedang mau dibunuh oleh musuh-musuhnya, sedang sekarat? Mengapa Sang Ayah ilahi ini diam saja? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Inilah pergumulan eksistensial yang setiap orang yang beragama pasti pernah alami, suatu pergumulan mental kognitif yang dinamakan teodise. Pergumulan ini muncul karena iman atau keyakinan keagamaan dan fakta eksistensial tidak sejalan, tidak harmonis, bertabrakan keras. Teodise adalah suatu disonansi kognitif.

Teodise menambah penderitaan batin orang yang beragama, padahal mereka semula beragama supaya hidup dapat berbahagia dan jiwa adem dan tenteram. Beragama untuk menjaga moral mungkin lebih baik ketimbang beragama dengan tujuan untuk tidak mengalami persoalan teodise. Tanpa teodise, agama pasti tidak ada. Jika agama dianut, teodise pasti terjadi, lebih sering ketimbang jarang. Karena teodise sesuatu yang niscaya, sosok Allah mau tidak mau menjadi sebuah teka-teki besar yang kerap membingungkan dan menimbulkan stres dan depresi.

Tetapi para pakar pengkaji Yesus sejarah belakangan ini makin condong menolak jika Yesus dari Nazareth dipandang sebagai seorang nabi apokaliptik. Mereka lebih siap untuk memandang Yesus sebagai seorang nabi sosial, yang membawa visi dan misi pembaruan sosio-politik dan religius untuk bangsa dan negerinya, yang di ujung pergerakannya menemui kegagalan total.

Sebagai seorang nabi sosial, Yesus lebih kuat menghayati apa yang oleh John Dominic Crossan disebut ethical eschatology, atau sapiential eschatology, yang mendorong orang seperti Yesus (dan juga murid-murid Yesus) untuk aktif ambil bagian secara etis dan bijak dalam tindakan-tindakan Allah yang sekarang sedang berlangsung untuk menegakkan kerajaan-Nya dalam dunia ini (di beberapa tulisannya, Crossan menguraikan isi eskatologi jenis ini; lihat khususnya bukunya, Jesus: A Revolutionary Biography, 1994, hlm. 56 dyb.). Apokaliptisisme, yang membuat orang pasif menunggu intervensi Allah sang pembalas di akhir zaman untuk membereskan semua ketidakberesan dunia ini, meskipun tak dapat dilepaskan sama sekali dari pikiran Yesus, hanya sedikit memengaruhi kiprah-kiprah dan ajaran-ajaran Yesus.

Bagaimana pun juga, gerakan politis Yesus lebih tampak sebagai suatu gerakan pemberdayaan rakyat (empowering the people) melalui berbagai aktivitas yang Yesus lakukan banyak kali (penyembuhan, perkawanan, persekutuan di sekitar meja makan sambil lesehan, pengusiran setan, penghiburan). Juga melalui berbagai pengajarannya, yang dalam banyak segi disampaikan bukan sebagai pernyataan-pernyataan politis terbuka, tetapi sebagai metafora-metafora (antara lain perumpamaan-perumpamaan tentang kerajaan Allah, tentang Allah yang kini sedang berkuasa dan memerintah atas bangsa Israel dan akibat-akibatnya yang kentara dan dirasakan dan dialami langsung oleh rakyat Yahudi). Selain itu, juga melalui usaha-usahanya membangun suatu komunitas egaliter, di mana egalitarianisme ini diwujudkan antara lain dalam acara-acara makan bersama di lantai yang digelar dan dipimpinnya. Ini adalah suatu komunitas miniatur yang menjadi sebuah model bagaimana nanti di masa depan bangsa Israel harus dikelola, ketika Israel sudah merdeka dari penjajahan, dan dipimpin langsung oleh Allah, Sang Ayah bangsa Yahudi, yang akan memerintah dengan kerahimannya.

Begitu juga, ketika berbagai kekristenan perdana (yang melahirkan Perjanjian Baru) mengklaim dan memproklamirkan bahwa Yesus adalah Tuhan (kurios), klaim dan proklamasi Kristen ini dibuat sebagai suatu tandingan terhadap klaim dan proklamasi resmi bangsa Romawi bahwa sang Kaisar mereka (Kaisar Augustus) adalah Tuhan/Allah, Anak Allah, sang Penyelamat Dunia, yang membawa kabar baik bagi dunia yang dikenal. Klaim bangsa Romawi ini dengan jelas dikumandangkan pada sebuah prasasti yang bertuliskan dekrit Majelis Provinsi Asia dalam kekaisaran Romawi, yang berasal dari tahun 9 SM. Berikut ini bunyi prasasti itu.
“Kaisar yang paling ilahi... harus kita pandang setara dengan Sang Awal (arkhē) dari segala sesuatu.... Kaisar.... sang Nasib Baik bagi semua orang.... Awal kehidupan dan vitalitas... semua kota dengan bulat mengadopsi hari kelahiran Kaisar ilahi sebagai awal baru untuk tahun ini.... Sementara Sang Providentia, yang telah mengatur seluruh eksistensi kita,... telah membawa kehidupan kita ke puncak kesempurnaan dengan memberikan kepada kita [sang Kaisar] Augustus, yang oleh sang Providentia telah diisi dengan kebajikan demi kesejahteraan semua orang, dan yang, lewat pengutusannya sebagai sang Penyelamat (sōtēr) kepada kita dan semua keturunan kita, telah mengakhiri perang dan menempatkan segala sesuatu dalam keteraturan pada tempatnya masing-masing,... dan... akhirnya, hari kelahiran Allah [Augustus] telah menjadi bagi seluruh dunia awal kabar baik [euaggelion] tentang dirinya [dan karena itu hendaklah suatu zaman baru dimulai sejak kelahirannya].” (Dikutip oleh Richard A. Horsley, The Liberation of Christmas. The Infancy Narratives in Social Context, 1989, 27.)
Oktavianus Augustus adalah kaisar pertama Imperium Romawi yang berkuasa 27 SM hingga 14 M. Augustus berarti dia yang disanjung atau dia yang disucikan atau dia yang dimuliakan. Oleh Senat Romawi, Augustus diberi gelar Anak Allah saat naik ke tampuk kekuasaan. Dalam kompetisi religiopolitik dengan Imperium Romawi, gereja-gereja perdana menyetarakan Yesus Kristus dengan Kaisar Augustus sebagai Tuhan, Anak Allah dan Juru Selamat. Praktek religiopolitik menyetarakan seorang manusia dengan Tuhan umum dilakukan di dunia Yunani-Romawi ketika kekristenan perdana terbentuk, bukan suatu dosa syirik seperti dipahami dalam agama Islam belakangan. Praktek di dunia Yunani-Romawi kuno ini dinamakan apotheosis atau deifikasi.      

 

Kaisar Augutus, Anak Allah, sang Juru Selamat....

Jadi, memperlakukan Yesus dari Nazareth sebagai seorang sekuler, atau memandang berbagai kekristenan perdana sebagai komunitas-komunitas yang anti-politik atau apolitik, adalah sebuah anakronisme yang menyesatkan. Meskipun oleh Yesus, Allah sebagai Sang Ayah yang rahimi bagi semua orang, dibuatnya bisa dijumpai dan dialami langsung tanpa peran hierarki kepemimpinan Bait Allah, ideologi religiopolitis Yesus jelas adalah teokrasi. Ini memang teokrasi Yesus yang unik: di bawah pemerintahan Allah, semua orang menjadi egaliter, setara, untuk menerima segala kemurahan dan berkah ilahi! Tetap ada sebuah pertanyaan terbuka: Jika sudah diterapkan dalam suatu negara yang besar, dan bukan hanya dalam suatu komunitas sangat kecil (yang sedang Yesus bangun), apakah teokrasi egaliter Yesus ini bisa berjalan dengan baik? Saya meragukannya dengan serius! Kita tahu, sosialisme murni (religius atau non-religius) telah gagal!

Bagaimanapun juga, di dalam zaman modern ini, di abad ke-21 ini, kita sudah belajar sangat banyak dari fakta-fakta sejarah dan fakta-fakta di masa kini, bahwa kemajuan besar sebuah bangsa dan negara, dalam segala bidang, khususnya politik, ekonomi dan sains dan teknologi, hanya akan dapat dicapai dengan real dan cepat jika suatu bangsa dan negara dikelola secara demokratis, tidak lagi berdasarkan agama apapun, dan tidak lagi didikte oleh agama apapun.

Teokrasi membawa kita mundur ke masa-masa silam yang kelam; demokrasi memandu kita masuk ke masa depan yang bercahaya benderang. Teokrasi berfondasi pada teks-teks kuno yang disucikan yang ditulis di era prailmiah dan pramodern. Demokrasi berdasar pada hukum-hukum positif (Latin: lex positum) yang disusun dan didalilkan oleh manusia-manusia cerdas yang mampu berpikir dan menimbang-nimbang dengan dinamis sejalan dengan zaman dan dunia yang terus-menerus berubah dan bergerak ke masa depan yang makin maju dan makin maju lagi.

Tentu ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari Yesus sebagai sosok sejarah yang agung, dan juga kita bisa menerima banyak manfaat besar dari banyak ajaran dan teladannya. Egalitarianisme yang dipraktekkan Yesus di dalam komunitas-komunitas skala kecilnya tetap relevan hingga kini bagi umat manusia sedunia.


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/antara-teokrasi-yesus-dan-demokrasi-modern-anda-pilih-mana_570cc5ac20afbd3c0712c0cb

Namun, teokrasi yang diperjuangkan Yesus jelas sudah tidak kena lagi dengan kehidupan di zaman modern. Pada masa kehidupan Yesus, tidak terlihat pilihan lain, selain teokrasi. Sekularisme yang memisahkan politik dari agama dan juga sebaliknya belum menjadi sebuah ide yang umum pada era kehidupan aktual Yesus dan kekristenan awal, dan juga tidak terpikirkan oleh Yesus sama sekali dan oleh semua nabi kuno dalam dunia agama-agama di zaman lampau.

Sekarang, demokrasi adalah suatu pilihan cerdas jika kita mau menjadi suatu bangsa dan negara yang cepat maju di segala bidang kehidupan. Juga perlu kita ingat, justru di dalam demokrasi, dan bukan di dalam teokrasi umumnya, egalitarianisme antarmanusia dapat diwujudkan dengan makin penuh dan meluas atas nama HAM dan kemanusiaan sejagat.

Salam.
12.4.2016

oleh ioanes rakhmat

Silakan share seluasnya. Thank you.