Tuesday, April 12, 2016

Antara teokrasi Yesus dan demokrasi modern. Anda pilih mana?

Kebanyakan orang Kristen masa kini tidak mengetahui konteks religio-politis gerakan yang diprakarsai Yesus, yakni gerakan menghadirkan “kerajaan Allah”, artinya: gerakan mendatangkan dan menegakkan teokrasi, di tengah rakyat dan negara terjajah Yahudi pada abad pertama M. Karena itu, mereka menganggap Yesus sebagai seorang spiritualis yang memperjuangkan hanya hal-hal rohani, hal-hal spiritual, hal-hal batiniah, hal-hal yang tak ada hubungannya dengan politik atau (sistem) pemerintahan suatu negara.      

  
 Yesus hitam Afrika sedang demo di Bait Allah

Untuk mendukung anggapan ini, biasanya mereka akan mengutip teks-teks yang pada pandangan pertama tampak menampilkan Yesus sebagai seorang yang anti-politik atau apolitik, misalnya teks tentang keharusan memberi pajak kepada Kaisar dan keharusan memberi kepada Allah apa yang harus diberikan kepada Allah (Markus 12:13-17), atau tuturan pendek tentang Yesus yang menghindar (“pergi bersembunyi”) ketika dia (mau) diproklamirkan oleh massa Yahudi sebagai seorang raja Israel (Yohanes 12:12-16, 36b). Anggapan mereka ini tidak benar sama sekali.

Jauh lebih tidak benar lagi, ketika beberapa ucapan Yesus dalam Injil Yohanes dikutip-kutip untuk menyatakan bahwa Yesus sama sekali tidak peduli dengan kerajaan duniawi (misalnya Imperium Romanum, kekaisaran Romawi, atau kerajaan Israel sendiri), melainkan hanya peduli pada kerajaan rohani yang bukan dari dunia ini. Ucapan Yesus dalam Yohanes 18:36 seringkali dikutip, “Kerajaanku bukan dari dunia ini; jika kerajaanku dari dunia ini, pasti hamba-hambaku telah melawan, supaya aku tidak diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi kerajaanku bukan dari sini.”

Sudah menjadi suatu prosedur umum di kalangan para pakar pengkaji Yesus untuk tidak memakai Injil Yohanes sebagai sebuah sumber sastra autentik bagi pengkajian atas figur Yesus dari Nazareth, meskipun ada sejumlah kecil tradisi historis dalam injil ini yang dapat dikaitkan pada figur Yesus sejarah, selain tradisi-tradisi historis yang diambil penulis Injil Keempat ini dari injil-injil sinoptik (misalnya kisah kesengsaraan Yesus, passion narrative).

Ucapan Yesus yang baru dikutip di atas (Yohanes 18:36) adalah ucapan Yesus versi penulis Injil Yohanes, bukan sebuah ucapan Yesus dari Nazareth. Dalam kristologi penulis Injil Yohanes, Yesus digambarkan sudah sangat menjauh dari gambaran Yesus dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, dan Lukas). Orang menyebut kristologi dalam Injil Yohanes sebagai “kristologi dari atas” (high christology), yang berkontras dengan “kristologi dari bawah” (low christology) yang mendominasi injil-injil sinoptik.

Dalam kristologi “dari atas”, Yesus digambarkan sebagai suatu oknum sorgawi (baik sebagai sang Firman, maupun sebagai Anak Manusia surgawi) yang memiliki pra-eksistensi, berasal dari kawasan sorgawi, ada di sana, sebelum “turun dari atas”, masuk ke kawasan dunia “di bawah”. Sebagai oknum sorgawi Yesus digambarkan tidak berasal dari dunia ini, bahkan dunia ini dan segala isinya digambarkan tidak mengenal dia, bahkan menolak dia dan akhirnya menyalibkan dia. Nah, dalam bingkai kristologi “dari atas” inilah ucapan Yesus dalam Yohanes 18:36 harus ditempatkan. Sedangkan Yesus dari Nazareth sendiri, sebagai seorang manusia yang real dalam dunia ini, berasal dari dunia ini, tidak pernah mengucapkan kata-kata itu.

Dalam injil-injil sinoptik, gagasan Yesus tentang “kerajaan Allah” atau “pemerintahan Allah” atau “Imperium Allah” (Ibrani: malkuth hashamayim, kerajaan surga; Yunani: basileia tou theou), yang berlatarbelakang pada konsep religio-politis Perjanjian Lama, sungguh-sungguh adalah sebuah gagasan politis tandingan terhadap Imperium Romanum, kekaisaran Romawi, yang sedang menjajah negerinya (sejak 63 SM).

Sejak zaman Perjanjian Lama periode kerajaan (abad ke-10 SM), pemerintahan negara Israel kuno dipandang dan berlaku sebagai pemerintahan Allah, sebagai teokrasi, di mana Allah memerintah lewat wakilnya (seorang raja yang diurapi, sang messias, Raja Daud, misalnya) atau lewat hukum-hukum-Nya yang diberikan kepada wakil-Nya ini. Konsep sekularisme yang memisahkan agama dari politik, atau politik dari agama, adalah sebuah konsep modern yang sangat asing bagi dunia PL, bagi Yesus di abad pertama M, dan bagi umat Kristen perdana yang melahirkan Perjanjian Baru.

Teks-teks dalam PB tersebut di atas yang dikenakan pada Yesus jelas tidak mungkin dipahami dalam rangka sekularisme. Sesungguhnya teks-teks tersebut, dalam konteks historis Yesus sendiri, dapat dijelaskan sebagai teks-teks yang malah memperkuat teokratisme Yesus.

Kalau di tangan penulis Injil Markus teks Markus 12:13-17 tampak membuat Yesus takluk pada sang Kaisar yang bertakhta di Roma, atau membuat Yesus menganut “teori dua pedang” (pedang politik digenggam Kaisar Romawi, dan pedang rohani digenggam Paus), tidaklah demikian halnya di tangan Yesus orang Nazareth sendiri.

Ketika Yesus memberitakan bahwa kerajaan Allah sedang ada di tengah umat Yahudi (Markus 1:15; Lukas 17:21b; Lukas 11:20; Matius 12:28 ), yang Yesus maksudkan adalah bahwa Allah sedang berkuasa atas bangsa Israel sebagai umat Allah, atas tanah Israel sebagai tanah perjanjian, atas makanan dan minuman, atas uang dan semua bentuk kekayaan lain, atas semua masalah dan urusan ekonomi yang sedang dihadapi rakyat, atas Bait Allah di Yerusalem, atas segala sakit penyakit, roh-roh dan setan-setan, atas umur manusia, atas alam; pendek kata: atas segala sesuatu yang ada di tanah Yahudi. Dengan demikian, bagi Yesus, segala sesuatu yang ada di tanah Israel, bahkan tanah Israel itu sendiri, bukanlah milik sang Kaisar Romawi, tetapi milik Allah saja.

Jadi kalau Yesus menyatakan “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar” (Markus 12:17), yang Yesus maksudkan adalah: di tanah Israel, tidak ada sesuatu pun yang merupakan milik Kaisar, sehingga tak ada sesuatupun yang bangsa Yahudi wajib berikan kepada Kaisar. Akibatnya lebih jauh: karena Kaisar tak memiliki apapun di tanah Israel, tak berkuasa atas apapun di negeri Yesus, maka kekuasaan sang Kaisar atas tanah Israel harus diakhiri, dan sang Kaisar wajib menyerahkan kembali tanah Israel kepada Allah Yahudi, sang Pemilik sah tanah Israel, yang telah memberikannya kepada bangsa Israel, dan penjajahan Roma atas bangsa dan tanah Yahudi harus diakhiri. Sang Kaisar harus mengembalikan segala sesuatunya yang ada di tanah Israel kepada Allah bangsa Yahudi saja! Wakil-wakil sang Kaisar di tanah Yahudi harus pulang, balik ke negeri mereka sendiri, meninggalkan tanah Israel!

Orang bisa bertanya, apakah orang banyak (khususnya murid-muridnya), ketika Yesus mengucapkan kata-kata tentang kewajiban memberi kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan kewajiban memberi kepada Allah apa yang menjadi milik Allah, dapat menangkap maksud Yesus sebenarnya, yang sama sekali tidak harfiah? Memakai istilah-istilah modern, apakah mereka dapat menangkap bahwa lewat ucapannya itu Yesus tidak mengajarkan sekularisme melainkan teokrasi, sebagaimana sudah diuraikan?

Pertanyaan ini menjadi penting dan mendesak untuk djawab, mengingat Yesus, sambil mengucapkan kata-kata itu, juga menunjukkan sekeping koin dinar yang padanya tercetak gambar dan tulisan Kaisar (Markus 12:15-16), sehingga seolah Yesus mau orang banyak memahami ucapannya itu secara harfiah?

Jawab atas pertanyaan ini sederhana: Ada banyak kejadian yang di dalamnya Yesus melakukan tindakan-tindakan simbolik yang harus tidak dipahami harfiah, dan ada banyak ucapan Yesus yang dikehendaki Yesus untuk tidak dipahami atau ditangkap secara harfiah, khususnya ketika dia mengajar dengan menggunakan perumpamaan, aforisme, bahasa simbolik dan metafora. Penulis Injil Markus sendiri jelas melihat hal ini ketika dia, di dalam kitab injilnya, membuat Yesus mengucapkan kata-kata ini kepada murid-muridnya, “Kepadamu telah diberikan rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang luar segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan, supaya: sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti, supaya mereka jangan berbalik dan mendapat ampun.” (Markus 4:11-12).

Kita boleh mengernyitkan kening keheranan dan bertanya, Kok Yesus ingin membuat sebuah komunitas eksklusif yang tak terbuka untuk dimasuki orang luar? Tetapi, bagaimana pun juga, itulah setidaknya yang dipahami penulis Injil Markus mengenai cara dan tujuan Yesus berkomunikasi. Selain itu, sangat besar kemungkinannya ucapan dalam Markus 4:11-12 ini asli dari Yesus mengingat Yesus juga dicatat pernah berkata bahwa dia “diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari antara umat Israel” (Matius 15:24; bdk.10:6). Sangat mungkin, Yesus dari Nazareth memandang misinya sendiri hanyalah untuk menyatukan kembali suku-suku Israel yang sudah terceraiberai, sehingga dia tak menaruh perhatian sama sekali terhadap bangsa-bangsa non-Yahudi pada zamannya. (Jelas, kalau analisis isi dan analisis sejarah dilakukan pada perintah atau amanat misioner dalam Matius 28:18-20, maka harus ditegaskan bahwa ucapan ini bukanlah ucapan asli Yesus dari Nazareth.)

Usaha mempersatukan kembali suatu bangsa di dalam suatu negeri yang sedang dijajah bangsa lain jelas adalah suatu usaha politik yang berisiko besar. Suatu patriotisme dan nasionalisme yang membara! Setiap penjajah di manapun dan kapanpun menginginkan bangsa jajahannya terpecah-belah sehingga mudah untuk dikuasai terus-menerus. Divide et impera!

Jadi, dilihat dari sudut ini, bisa dimengerti mengapa Yesus menyamarkan visi dan misinya, mengapa dia mengajar dengan banyak memakai bahasa simbolik dan metafora.

Perlu kita ketahui, dalam banyak kebudayaan di dunia ini, dulu dan kini, ketika orang-orang bijak mau menyampaikan kebenaran-kebenaran, mereka banyak kali memakai perumpamaan, kiasan, tamsil, ibarat, peribahasa, aforisme, metafora dan bahasa simbolik.

Dalam dunia keagamaan dan dunia senibudaya khususnya, cara berkomunikasi dan mengungkapkan sesuatu lewat kiasan, perumpamaan, simbol-simbol, tanda-tanda, dan metafora, adalah cara yang paling banyak dipakai, sebab kedua dunia ini mengeksplorasi kebenaran-kebenaran yang multidimensional dan terus berkembang, kebenaran-kebenaran yang terus terbuka pada banyak penjelasan dan penafsiran yang tak pernah selesai, dan yang tak boleh dipantek mati pada satu titik permanen. 

Ketika analisis logis menemukan jalan buntu untuk sementara waktu, biasanya orang masuk ke dalam dunia senibudaya untuk mengungkapkan apa isi pikiran, hati dan intuisi mereka. Para fisikawan besar, misalnya, ketika belum sanggup menjelaskan sejelas-jelasnya sebuah fenomena fisika dalam bahasa sains yang eksak, mereka memakai gaya bahasa metaforis. Puisi-puisi juga banyak digunakan para ilmuwan empiris ketika mereka mau menyampaikan aspek-aspek lain dari suatu fenomena kosmik atau suatu fenomena mekanika quantum yang belum berhasil mereka ungkap dalam persamaan-persamaan matematis atau dalam proposisi-proposisi logis.  

Nah, masalah krusialnya muncul ketika seorang bijak, Yesus misalnya, atau Siddharta Gautama, atau Antisthenes dan Diogenes dari Sinope (dua filsuf aliran Sinisisme), atau Lao Tsu, atau Mahatma Gandhi, memakai bahasa simbolik atau metafora untuk menyampaikan hanya satu pesan yang tak ambigu, namun disamarkan demi menjaga keamanan dirinya, seperti halnya dengan ucapan Yesus dalam Markus 12:17.

Nah, dalam situasi ini, bagaimana bahasa simbolik dan metafora yang digunakan orang-orang bijak ini betul-betul dapat ditangkap dengan benar dalam satu makna saja oleh para pendengar mereka semula dulu atau oleh para pendengar atau pembaca mereka di kemudian hari?

Masalah ini dapat diatasi dengan cara ini: para pendengar mereka (khususnya murid-murid lingkaran dalam mereka, the inner circle) harus betul-betul sudah bergaul erat dengan mereka dalam jangka waktu yang lama, sudah mengenal pemikiran dan visi-visi mereka, sudah mengenal cara-cara dan bentuk-bentuk komunikasi verbal mereka, sudah cergas memahami dan menangkap kapan mereka mau dipahami secara harfiah atau secara metaforis lewat ucapan dan tindakan mereka, dan mampu menempatkan semua tindakan dan ucapan mereka pada konteks sosial aktual yang terbatas maupun yang luas.

Dengan kata lain, setiap ungkapan simbolik atau bahasa metaforis, jika ini dimaksudkan untuk membawa satu makna dan pesan saja, makna dan pesan yang satu ini dapat dengan benar ditangkap dan dipahami jika kita, dalam hal Yesus, mengenal teologi Yesus, kosa kata khas Yesus, gaya bahasa khas Yesus, gaya khas kehidupan Yesus, dan konteks sosial kehidupan Yesus dan konteks sosial aktual yang di dalamnya Yesus melakukan suatu tindakan simbolik atau mengucapkan pesan-pesan simbolik metaforis, serta persoalan-persoalan aktual yang sedang dihadapi Yesus dan bangsa Yahudi zamannya.

Jadi kajian sejarah dan kritik sastra harus digunakan ketika orang mau menangkap dan memahami ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan simbolik Yesus yang bisa memikul banyak makna dan pesan, tetapi dikehendaki Yesus hanya menyampaikan satu makna dan pesan.

Nah, sekarang kita lanjutkan ke sebuah episode lainnya dalam kehidupan Yesus, kali ini ke teks Yohanes 12:36b. Teks ini memuat sebuah catatan pendek bahwa Yesus “pergi bersembunyi” ketika dia, sementara memasuki kota Yerusalem pada masa perayaan Paskah Yahudi tahunan (lihat juga Markus 11:1-11; dan par.), mendapati orang banyak ingin melantiknya menjadi Raja Israel sementara mereka meneriakkan yel-yel “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Yohanes 12:13). Teks ini tampak autentik jika dibandingkan dengan teks-teks paralelnya dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, Lukas).

Dalam injil-injil sinoptik tak ada catatan bahwa Yesus segera pergi bersembunyi setelah dia melihat gelagat orang banyak ingin melantiknya menjadi seorang raja Israel. Dalam setiap perayaan Paskah Yahudi, nasionalisme dan patriotisme Yahudi sangat kuat muncul kembali karena dipicu oleh ingatan tentang kemerdekaan nenek moyang bangsa Israel dari perbudakan di Mesir pada masa yang sudah sangat lampau (yang setiap tahun diperingati sebagai Paskah), dan ini dapat menimbulkan berbagai kerusuhan besar di kota Yerusalem seperti pernah terjadi pada tahun 4 SM, dan pada masa Ventidius Cumanus memerintah Palestina dari 48 sampai 52 M, sebagaimana dilaporkan oleh Flavius Yosefus, seorang sejarawan Yahudi (Bellum Judaecum 2.10-13; 2.224; Antiquitates 17.204; 20.106-112). Untuk mencegah kerusuhan massal ini, kota Yerusalem (yang dipadati bisa sampai empat ratus ribu orang pada masa perayaan Paskah) dan khususnya Bait Allah dijaga dan diawasi dengan sangat ketat oleh sejumlah besar pasukan Romawi. Karena itulah, tidak mungkin pawai pelantikan yang digelar Yesus dan orang banyak ini bisa berlangsung aman-aman saja. Karena penilaian ini, ada sejumlah pakar kajian Yesus yang menyatakan bahwa kisah pawai pelantikan Yesus saat dia masuk ke kota Yerusalem adalah fiksi.

Nah, jika dalam Yohanes 12:36b dinyatakan bahwa segera setelah pawai ini Yesus pergi bersembunyi, pernyataan pendek ini mengindikasikan bukan bahwa Yesus menolak aspirasi orang banyak untuk mengangkatnya menjadi raja Israel (karena Yesus sendiri tidak menolak mengadakan pawai pelantikan dirinya sebagai raja, yang dimeriahkan dengan yel-yel pelantikan dan berbagai atribut lainnya), melainkan bahwa Yesus tahu betul bahwa aspirasi orang banyak ini yang tidak ditampiknya sama sekali adalah sebuah aspirasi politis yang sangat berbahaya. Karena itu, demi keamanan dirinya dan gerakannya yang masih belum matang, dia segera menyingkir, pergi bersembunyi, bisa jadi karena dia berpikir dengan benar bahwa tentulah pasukan Romawi sedang menyelidiki siapa orang yang telah mengklaim takhta raja Yahudi itu dan di mana orang ini kini berada, orang yang harus ditangkap dan diamankan.

Dalam tuturan injil-injil PB, sedikitnya ada dua metafora yang dipakai Yesus untuk menunjukkan bahwa dia memang sedang melawan penjajah Roma, yang dikehendakinya dapat dikalahkan olehnya dan oleh bangsa Yahudi. Dalam Markus 3:27, kekaisaran Romawi yang sedang menjajah tanah dan bangsa Israel disebutnya sebagai “orang kuat” (ho iskhuros). Kata Yesus, jika rumah orang kuat ini ingin dimasuki dan harta bendanya dirampas, orang kuat ini harus “diikat dahulu”.

Teks Markus 3:27 ini muncul dalam sebuah narasi pertikaian, yang dibuka dengan suatu tuduhan bahwa Yesus “kerasukan Beelzebul”, sang penghulu setan, roh jahat, yang lalu ditangkis Yesus (Markus 3:20-30). Jika “orang kuat” ini dimaksudkan Yesus sebagai “Beelzebul”, yaitu “penghulu atau kepala setan-setan”, atau “roh jahat”, penulis Injil Markus di tahun 70 abad 1 M memang mengidentikkan penjajah Romawi sebagai “setan” atau “roh jahat”, seperti kita baca dalam Markus 5:1-20.

Dalam tuturan Markus 5 ini, Yesus meminta roh jahat yang sedang merasuki seorang Gerasa “keluar dari” orang yang kerasukan ini. Sebelumnya, Yesus bertanya siapa nama roh jahat ini; lalu roh jahat ini menjawab, “Namaku Legion, karena kami banyak” (ayat 9). Nah, dalam dunia Yunani-Romawi abad-abad pertama, “legion” adalah sebuah sebutan dalam dunia kemiliteran untuk satuan prajurit pejalan kaki Roma ditambah pasukan berkuda, dengan jumlah sangat besar antara tiga ribu sampai enam ribu orang. Nama ini dengan demikian adalah sebuah metafora (yang dipakai dan dipertahankan penulis Injil Markus) untuk penjajahan Roma atas tanah Israel.

Ketika Yesus meminta Legion ini keluar dari tubuh orang yang dirasuki, roh-roh jahat ini meminta untuk diizinkan tetap tinggal di daerah itu (ayat 10); inilah memang kemauan Roma, yakni tetap menjajah tanah Israel, tetap mengontrol seluruh negeri. 

Dari jalannya kisah, kita dapat simpulkan, permintaan ini Yesus tak kabulkan. Lalu Legion ini meminta diizinkan untuk “pindah ke dalam babi-babi, dan memasuki” kawanan babi ini. Yesus mengabulkan permintaan mereka. Legion ini segera masuk ke dalam kawanan babi, lalu kawanan dua ribu ekor babi ini “terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya” (ayat 13) (Catatan: sebetulnya sama sekali tak ada danau di daerah Gerasa! Jadi, tampaknya penulis Injil Markus keliru mengidentifikasi tempat.)

Babi adalah binatang haram, tentu saja dalam pandangan agama Yahudi kuno. Ya, bagi Yesus, penjajah Roma memang adalah bangsa yang najis dan haram, sederajat dengan babi, dan hanya pantas dibenamkan ke dalam air danau sampai mati lemas. Tuturan tindakan Yesus di kawasan orang Gerasa ini, yakni melakukan eksorsisme, konsisten dengan kebanyakan tindakan Yesus lainnya, yang kuat dicirikan oleh pengusiran setan, sebagaimana dipercaya kalangan pengkaji Yesus pada umumnya.

Di mana-mana dan di banyak zaman, sebagaimana telah disingkap oleh antropologi kultural, dalam suatu pertikaian sengit dan besar, pihak-pihak yang bertikai kerap memandang lawan-lawan mereka sebagai representasi setan-setan. Demonisasi (demonization, demonizing) selalu dilakukan terhadap lawan-lawan, khususnya ketika lawan-lawan ini dirasakan terlalu kuat dan terlalu besar untuk dikalahkan. Injil-injil Perjanjian Baru, juga banyak dokumen PB lainnya, sarat dengan motif mendemonisasi lawan ini. Entah yang didemonisasi itu Yesus, atau, sebaliknya, Yesus mendemonisasi lawan-lawannya, seperti kita dapat baca misalnya dalam Injil Yohanes (Yohanes 8:44, 48). Dalam kekristenan perdana yang beranekaragam, motif menyetankan lawan ini juga muncul di mana-mana seperti telah diperlihatkan oleh Elaine Pagels dalam bukunya The Origin of Satan: How Christians Demonized Jews, Pagans, and Heretics (1996).

Harus diingat bahwa kematian Yesus tak pelak lagi adalah sebuah konsekwensi dari gerakan politiknya di suatu negara yang sedang dijajah oleh kekaisaran Romawi, yang memandang hanya Kaisar Roma yang berkuasa memerintah tanah Yahudi. Vonis dan penghukuman mati Yesus melalui penyaliban bukan tanpa dasar politis. Dasar politis kematiannya ini sangat kuat, yakni dia ditemukan terbukti mengklaim dirinya Raja Yahudi di suatu negeri yang di dalamnya boleh hanya ada satu raja yang berkuasa, yakni Kaisar yang bertakhta di kota Roma. Setiap orang yang melawan Kaisar dan kedaulatan Roma atas negeri jajahan harus dihukum mati. Tuduhan terhadap Yesus ini ditulis dan dipasang sebagai titulus pada balok kayu salibnya, yang berbunyi “Raja Orang Yahudi” (lihat Markus 15:26; Matius 27:37; Lukas 23:38; Yohanes 19:19).

Tak lama sebelum Yesus ditangkap (di suatu tempat, tak harus di Taman Getsemani!), dia telah mengadakan sebuah demo kecil di suatu sisi Bait Allah di Yerusalem, ketika dia mengintervensi bisnis penukaran uang dan penjualan hewan-hewan kurban di situ sambil mengucapkan kata-kata keras tentang Bait ini (Markus 11:15-18; 14:58; Injil Tomas 71; Yohanes 2:14-16a). Kegiatan fiskal dan komersial di Bait Allah ini memang diperlukan dan sah diadakan demi kelangsungan ritual-ritual kurban yang diadakan di dalamnya. Tetapi hanya lewat hierarki kepemimpinan dan fungsi para pengelola Bait Allah, ritual-ritual ini, khususnya ritual penyucian dosa, baru dipandang absah dan dipercaya mujarab.

Mengganggu jalannya sistem dan ritual kurban yang dikelola para pengurus Bait Allah bukan saja mengganggu otoritas Yahudi yang ada di balik penyelenggaraan ritual-ritual itu, tetapi juga otoritas Romawi yang bertanggungjawab untuk mengamankan penyelenggaraan semua ritual itu karena dari penghasilan yang diterima otoritas Yahudi dari ritual-ritual ini otoritas Roma juga mendapatkan bagian keuntungan yang besar.

Nah, barangsiapa mengganggu kedua otoritas ini, barangsiapa mengganggu Bait Allah, si pengganggu harus ditangkap dan umumnya akan langsung dieksekusi, lebih-lebih lagi jika gangguan ini diadakan pada musim perayaan Paskah Yahudi tahunan yang berlangsung selama tujuh hari.

Ada alasan yang cukup untuk orang percaya bahwa demo yang dilakukan Yesus di Bait Allah, meskipun berskala kecil, yang diadakannya sebagai suatu tindakan simbolik untuk menyetop semua kegiatan fiskal dan ritual di Bait Allah, adalah satu penyebab paling menentukan mengapa dia dicari dan akhirnya ditangkap, lalu, tak lama setelah itu, dieksekusi.

Demo Yesus ini bukan sekadar suatu demo keagamaan untuk “menyucikan Bait Allah”, melainkan suatu tindakan simbolis politis untuk mengakhiri fungsi Bait Allah sebagai sebuah pranata yang berperan sebagai broker antara Allah Yahudi dan umat Yahudi kalau umat ini mau mendapatkan penyucian dosa, peran broker yang dimainkan oleh para pemuka keagamaan Yahudi yang bertindak di dalam perlindungan dan kontrol Roma. Jadi, bagi Yesus, untuk mengalami perjumpaan dengan Allah yang rahmani dan rahimi, hierarki kepemimpinan keagamaan dan para perantara tidak diperlukan. Ini sebuah pandangan yang revolusioner dan radikal dan sangat politis.

Mudah sekali untuk membayangkan bahwa Yesus yang selalu memberitakan bahwa Allah Yahudi kini datang langsung kepada umat-Nya, tanpa broker, tanpa makelar, menjadi sangat terganggu dan naik pitam ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana peran langsung Allah ini telah dihambat oleh peran Bait Allah dan para penguasa Yahudi di belakangnya sebagai perantara-perantara yang menghubungkan Allah Yahudi dengan umat. Tanpa dapat dicegah, Yesus demo di salah satu serambi Bait Allah, dengan memporakporandakan meja-meja pedagang valuta asing dan mengobrak-abrik kandang-kandang hewan-hewan kurban yang semuanya diperlukan bagi kelangsungan ibadah dan ritual di Bait Allah dan sumber pemasukan kas Bait Allah lewat pajak yang dibebankan.

Ihwal bagaimana aspek-aspek politik tak dapat dilepaskan dari gerakan yang dibangun Yesus bersama murid-muridnya, sudah banyak diulas oleh para pakar pengkaji Yesus sejarah. Buku yang disunting oleh E. Bammel dan C. F. D. Moule, Jesus and the Politics of His Day (1985; cetak ulang 1992), dapat dijadikan sebagai sebuah bacaan awal.

Gerakan Yesus bagaimana pun juga adalah sebuah gerakan politis, meskipun tidak ada indikasi kuat apapun dalam injil-injil Perjanjian Baru bahwa Yesus memiliki dan membangun suatu pasukan bersenjata, yang disiapkan untuk suatu saat menggelar perlawanan militer terbuka terhadap Roma. Yesus memang seorang religiopolitis, tetapi sama sekali bukan seorang yang militeristik dan juga bukan seorang pemimpin perang!

Barangkali Yesus dari Nazareth menghayati diri sebagai seorang nabi apokaliptik, yang percaya bahwa di masa depan semua ketidakberesan dunia ini, termasuk ketidakberesan politik dan penjajahan Roma atas bangsa dan tanah Israel, akan diakhiri oleh intervensi langsung dari sorga oleh Allah sendiri bersama pasukan besar sorgawi-Nya, pada saat mana Bait Allah akan juga dihancurkan oleh Allah sendiri untuk diganti dengan Bait lain yang bukan buatan tangan manusia.

Ada sejumlah pakar yang menyarankan bahwa Yesus yakin intervensi ilahi ini akan terjadi pada saat dia ditangkap dan menjelang disalibkan, untuk menyelamatkan dirinya dan membebaskan Israel dari kekuasaan Roma, dan mendatangkan Bait Allah yang baru yang tidak dibuat oleh tangan manusia. Tetapi, sampai menjelang ajal dan ketika merasakan kesakitan luar biasa di kayu salib, intervensi Allah sebagai Sang Ayah ini tak kunjung terjadi sehingga Yesus merasa telah ditinggalkan dan ditelantarkan Allah.

Jika penulis Injil Markus memang mencatat sebuah ingatan historis tentang apa yang terjadi ketika Yesus sedang kesakitan di kayu salib, menurut penulis injil ini, Yesus akhirnya merasa sangat kecewa dan berteriak, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, artinya: “Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Markus 15:33). Inilah problem teodise (gabungan dua kata Yunani theos dan dikē yang berarti “keadilan Allah”) yang Yesus sendiri harus hadapi. Di manakah Allah yang mahaadil berada ketika seorang saleh seperti dirinya sedang mau dibunuh oleh musuh-musuhnya, sedang sekarat? Mengapa Sang Ayah ilahi ini diam saja? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Inilah pergumulan eksistensial yang setiap orang yang beragama pasti pernah alami, suatu pergumulan mental kognitif yang dinamakan teodise. Pergumulan ini muncul karena iman atau keyakinan keagamaan dan fakta eksistensial tidak sejalan, tidak harmonis, bertabrakan keras. Teodise adalah suatu disonansi kognitif.

Teodise menambah penderitaan batin orang yang beragama, padahal mereka semula beragama supaya hidup dapat berbahagia dan jiwa adem dan tenteram. Beragama untuk menjaga moral mungkin lebih baik ketimbang beragama dengan tujuan untuk tidak mengalami persoalan teodise. Tanpa teodise, agama pasti tidak ada. Jika agama dianut, teodise pasti terjadi, lebih sering ketimbang jarang. Karena teodise sesuatu yang niscaya, sosok Allah mau tidak mau menjadi sebuah teka-teki besar yang kerap membingungkan dan menimbulkan stres dan depresi.

Tetapi para pakar pengkaji Yesus sejarah belakangan ini makin condong menolak jika Yesus dari Nazareth dipandang sebagai seorang nabi apokaliptik. Mereka lebih siap untuk memandang Yesus sebagai seorang nabi sosial, yang membawa visi dan misi pembaruan sosio-politik dan religius untuk bangsa dan negerinya, yang di ujung pergerakannya menemui kegagalan total.

Sebagai seorang nabi sosial, Yesus lebih kuat menghayati apa yang oleh John Dominic Crossan disebut ethical eschatology, atau sapiential eschatology, yang mendorong orang seperti Yesus (dan juga murid-murid Yesus) untuk aktif ambil bagian secara etis dan bijak dalam tindakan-tindakan Allah yang sekarang sedang berlangsung untuk menegakkan kerajaan-Nya dalam dunia ini (di beberapa tulisannya, Crossan menguraikan isi eskatologi jenis ini; lihat khususnya bukunya, Jesus: A Revolutionary Biography, 1994, hlm. 56 dyb.). Apokaliptisisme, yang membuat orang pasif menunggu intervensi Allah sang pembalas di akhir zaman untuk membereskan semua ketidakberesan dunia ini, meskipun tak dapat dilepaskan sama sekali dari pikiran Yesus, hanya sedikit memengaruhi kiprah-kiprah dan ajaran-ajaran Yesus.

Bagaimana pun juga, gerakan politis Yesus lebih tampak sebagai suatu gerakan pemberdayaan rakyat (empowering the people) melalui berbagai aktivitas yang Yesus lakukan banyak kali (penyembuhan, perkawanan, persekutuan di sekitar meja makan sambil lesehan, pengusiran setan, penghiburan). Juga melalui berbagai pengajarannya, yang dalam banyak segi disampaikan bukan sebagai pernyataan-pernyataan politis terbuka, tetapi sebagai metafora-metafora (antara lain perumpamaan-perumpamaan tentang kerajaan Allah, tentang Allah yang kini sedang berkuasa dan memerintah atas bangsa Israel dan akibat-akibatnya yang kentara dan dirasakan dan dialami langsung oleh rakyat Yahudi). Selain itu, juga melalui usaha-usahanya membangun suatu komunitas egaliter, di mana egalitarianisme ini diwujudkan antara lain dalam acara-acara makan bersama di lantai yang digelar dan dipimpinnya. Ini adalah suatu komunitas miniatur yang menjadi sebuah model bagaimana nanti di masa depan bangsa Israel harus dikelola, ketika Israel sudah merdeka dari penjajahan, dan dipimpin langsung oleh Allah, Sang Ayah bangsa Yahudi, yang akan memerintah dengan kerahimannya.

Begitu juga, ketika berbagai kekristenan perdana (yang melahirkan Perjanjian Baru) mengklaim dan memproklamirkan bahwa Yesus adalah Tuhan (kurios), klaim dan proklamasi Kristen ini dibuat sebagai suatu tandingan terhadap klaim dan proklamasi resmi bangsa Romawi bahwa sang Kaisar mereka (Kaisar Augustus) adalah Tuhan/Allah, Anak Allah, sang Penyelamat Dunia, yang membawa kabar baik bagi dunia yang dikenal. Klaim bangsa Romawi ini dengan jelas dikumandangkan pada sebuah prasasti yang bertuliskan dekrit Majelis Provinsi Asia dalam kekaisaran Romawi, yang berasal dari tahun 9 SM. Berikut ini bunyi prasasti itu.
“Kaisar yang paling ilahi... harus kita pandang setara dengan Sang Awal (arkhē) dari segala sesuatu.... Kaisar.... sang Nasib Baik bagi semua orang.... Awal kehidupan dan vitalitas... semua kota dengan bulat mengadopsi hari kelahiran Kaisar ilahi sebagai awal baru untuk tahun ini.... Sementara Sang Providentia, yang telah mengatur seluruh eksistensi kita,... telah membawa kehidupan kita ke puncak kesempurnaan dengan memberikan kepada kita [sang Kaisar] Augustus, yang oleh sang Providentia telah diisi dengan kebajikan demi kesejahteraan semua orang, dan yang, lewat pengutusannya sebagai sang Penyelamat (sōtēr) kepada kita dan semua keturunan kita, telah mengakhiri perang dan menempatkan segala sesuatu dalam keteraturan pada tempatnya masing-masing,... dan... akhirnya, hari kelahiran Allah [Augustus] telah menjadi bagi seluruh dunia awal kabar baik [euaggelion] tentang dirinya [dan karena itu hendaklah suatu zaman baru dimulai sejak kelahirannya].” (Dikutip oleh Richard A. Horsley, The Liberation of Christmas. The Infancy Narratives in Social Context, 1989, 27.)
Oktavianus Augustus adalah kaisar pertama Imperium Romawi yang berkuasa 27 SM hingga 14 M. Augustus berarti dia yang disanjung atau dia yang disucikan atau dia yang dimuliakan. Oleh Senat Romawi, Augustus diberi gelar Anak Allah saat naik ke tampuk kekuasaan. Dalam kompetisi religiopolitik dengan Imperium Romawi, gereja-gereja perdana menyetarakan Yesus Kristus dengan Kaisar Augustus sebagai Tuhan, Anak Allah dan Juru Selamat. Praktek religiopolitik menyetarakan seorang manusia dengan Tuhan umum dilakukan di dunia Yunani-Romawi ketika kekristenan perdana terbentuk, bukan suatu dosa syirik seperti dipahami dalam agama Islam belakangan. Praktek di dunia Yunani-Romawi kuno ini dinamakan apotheosis atau deifikasi.      

 

Kaisar Augutus, Anak Allah, sang Juru Selamat....

Jadi, memperlakukan Yesus dari Nazareth sebagai seorang sekuler, atau memandang berbagai kekristenan perdana sebagai komunitas-komunitas yang anti-politik atau apolitik, adalah sebuah anakronisme yang menyesatkan. Meskipun oleh Yesus, Allah sebagai Sang Ayah yang rahimi bagi semua orang, dibuatnya bisa dijumpai dan dialami langsung tanpa peran hierarki kepemimpinan Bait Allah, ideologi religiopolitis Yesus jelas adalah teokrasi. Ini memang teokrasi Yesus yang unik: di bawah pemerintahan Allah, semua orang menjadi egaliter, setara, untuk menerima segala kemurahan dan berkah ilahi! Tetap ada sebuah pertanyaan terbuka: Jika sudah diterapkan dalam suatu negara yang besar, dan bukan hanya dalam suatu komunitas sangat kecil (yang sedang Yesus bangun), apakah teokrasi egaliter Yesus ini bisa berjalan dengan baik? Saya meragukannya dengan serius! Kita tahu, sosialisme murni (religius atau non-religius) telah gagal!

Bagaimanapun juga, di dalam zaman modern ini, di abad ke-21 ini, kita sudah belajar sangat banyak dari fakta-fakta sejarah dan fakta-fakta di masa kini, bahwa kemajuan besar sebuah bangsa dan negara, dalam segala bidang, khususnya politik, ekonomi dan sains dan teknologi, hanya akan dapat dicapai dengan real dan cepat jika suatu bangsa dan negara dikelola secara demokratis, tidak lagi berdasarkan agama apapun, dan tidak lagi didikte oleh agama apapun.

Teokrasi membawa kita mundur ke masa-masa silam yang kelam; demokrasi memandu kita masuk ke masa depan yang bercahaya benderang. Teokrasi berfondasi pada teks-teks kuno yang disucikan yang ditulis di era prailmiah dan pramodern. Demokrasi berdasar pada hukum-hukum positif (Latin: lex positum) yang disusun dan didalilkan oleh manusia-manusia cerdas yang mampu berpikir dan menimbang-nimbang dengan dinamis sejalan dengan zaman dan dunia yang terus-menerus berubah dan bergerak ke masa depan yang makin maju dan makin maju lagi.

Tentu ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari Yesus sebagai sosok sejarah yang agung, dan juga kita bisa menerima banyak manfaat besar dari banyak ajaran dan teladannya. Egalitarianisme yang dipraktekkan Yesus di dalam komunitas-komunitas skala kecilnya tetap relevan hingga kini bagi umat manusia sedunia.


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/antara-teokrasi-yesus-dan-demokrasi-modern-anda-pilih-mana_570cc5ac20afbd3c0712c0cb

Namun, teokrasi yang diperjuangkan Yesus jelas sudah tidak kena lagi dengan kehidupan di zaman modern. Pada masa kehidupan Yesus, tidak terlihat pilihan lain, selain teokrasi. Sekularisme yang memisahkan politik dari agama dan juga sebaliknya belum menjadi sebuah ide yang umum pada era kehidupan aktual Yesus dan kekristenan awal, dan juga tidak terpikirkan oleh Yesus sama sekali dan oleh semua nabi kuno dalam dunia agama-agama di zaman lampau.

Sekarang, demokrasi adalah suatu pilihan cerdas jika kita mau menjadi suatu bangsa dan negara yang cepat maju di segala bidang kehidupan. Juga perlu kita ingat, justru di dalam demokrasi, dan bukan di dalam teokrasi umumnya, egalitarianisme antarmanusia dapat diwujudkan dengan makin penuh dan meluas atas nama HAM dan kemanusiaan sejagat.

Salam.
12.4.2016

oleh ioanes rakhmat

Silakan share seluasnya. Thank you.